BILINGUALISME DAN PENGAJARAN BAHASA
I.
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk sosial yang hidup
berdampingan satu sama lain, yang saling berhubungan dan saling membutuhkan. Agar
manusia dapat menjalin kerjasama antara manusia yang satu dengan yang lainnya, mereka
menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Manusia selalu menggunakan bahasa
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karena terlalu sering dan biasa manusia
menggunakan bahasa untuk berinteraksi, pada umumnya manusia tidak paham apa
definisi dari bahasa
Ada berbagai variasi definisi bahasa yang telah
dirumuskan oleh para ahli. Menurut Brown
(1980), bahasa adalah sistem yang sistematis dalam bentuk lambang-lambang
manasuka; lambang-lambang tersebut bersifat vokal, tetapi mungkin juga bersifat
visual serta mengandung makna konvensional. Wardhaugh (1977) juga menyebutkan bahwa bahasa adalah suatu sistem
lambang bunyi suara yang manasuka (arbitrer), yang digunakan untuk
berkomunikasi antarmanusia. Kridalaksana (1983) mempertegas kedua definisi di
atas lewat pernyataannya bahwa bahasa adalah sistem lambang yang arbitrer yang
dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasi diri. Hal ini mencerminkan bahwa fungsi bahasa sangatlah
penting dalam kehidupan sosial manusia dalam bermasyarakat.
Penggunaan bahasa sebagai fungsi sosial sangat
luas dan tidak terbatas, maka dalam
kehidupan bermasyarakat manusia mungkin memerlukan beberapa bahasa untuk dapat saling
berkomunikasi. Ada kemungkinan manusia dalam berkomunikasi menggunakan dua
bahasa atau lebih. Sangat jarang sekali ada daerah yang penduduk di dalamnya
hanya menggunakan bahasa tunggal (monolingual). Tentunya daerah tersebut dapat
dikatakan sebagai daerah yang tertinggal, karena tidak membuka diri dengan
perkembangan zaman. Manusia dalam kontak sosialnya menggunakan dua bahasa
sebagai alat komunikasi disebut bilingualisme, dalam padanan bahasa Indonesia
disebut kedwibahasaan. Sedangkan manusia yang dalam kontak sosialnya
menggunakan lebih dari dua bahasa disebut multilingualisme.
Pada umumnya masyarakat di dunia pada zaman
sekarang ini memiliki bilingualisme (kedwibahasaan) untuk berkomunikasi dalam
masyarakat. Masyarakat tutur yang
inklusif yaitu memiliki hubungan dengan masyarakat lain, tentu akan mengalami
apa yang disebut kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan
sebagai akibatnya. Peristiwa-peristiwa tersebut yang mungkin terjadi sebagai
akibat adanya kontak bahasa itu, di dalam sosiolinguistik disebut
bilingualisme, multilingualisme, diglosia, alih kode, campur kode,
interferensi, integrasi, konfergensi dan pergeseran bahasa. Khususnya, lingkup
kajian kita dalam makalah ini adalah diglosia, bilingualisme dan
multilingualisme, alih kode, dan campur kode, serta bilingualisme dan
pengajaran bahasa.
II. Pembahasan
A. Diglosia
Istilah
diglosia ini pertama kali digunakan dalam bahasa Perancis ‘diglossie’
yang diserap dari bahasa Yunani. Ahli bahasa Arab dari Perancis yaitu William
Marçais juga menggunakan istilah diglossie
ini pada tahun 1930 untuk menuliskan
situasi bahasa di dunia Arab. Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana
terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa
yang ada di masyarakat. Situasi bahasa yang dimaksud adalah terdapatnya
perbedaan antara ragam formal atau resmi dan tidak resmi atau non-formal.
Contohnya, di Indonesia terdapat
perbedaan antara ragam bahasa tulis dan ragam bahasa lisan.
Istilah
diglosia tersebut menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan
oleh C.A. Ferguson, seorang sarjana dari Stanford University pada tahun 1958
dalam sebuah symposium tentang “Urbanisasi
dan Bahasa-bahasa Standard” yang
diselenggarakan oleh American Antropological Association di Washington DC.
Ferguson mengunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat
dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan
masing-masing punya peranan tertentu. Diglosia menjadi lebih terkenal ketika
Ferguson menulis sebuah artikel yang berjudul “Diglosia (http://irmacadel.blogspot.com/2012/11/sociolinguistik-diglosia.html?m=1
diakses3 April 2013)
Wardhaugh menyatakan bahwa diglosia terjadi
dalam situasi masyarakat yang memiliki sistem kode (bahasa) dimana fungsinya berbeda antara satu dengan yang
lain. satu sistem kode (bahasa) digunakan dalam keadaan tertentu dan sistem kode (bahasa) yang lainnya digunakan untuk fungsi yang sama
sekali berbeda (Wardhaugh, 1998;88).
Ferguson dalam Wardhaugh juga menjelaskan seperti kutipan di bawah ini
diglossia is a relatively stable
language situation in which, in addition to theprimary dialects of the language
(which may include a standard or regional standards), there is a very
divergent, highly codified (often grammatically more complex) superposed variety,
the vehicle of a large and respected body of written literature, either of an
earlier period or in another speech community, which is learned largely by
formal education and is used for most written and formal spoken purposes butis
not used by any sector of the community for ordinary conversation (Wardhaugh, 1998;88)
yang dapat diartikan bahwa diglosia adalah situasi pemakaian bahasa
yang stabil, walaupun ada penambahan pada dialek-dialek dasar (kadang memasukan
suatu bahasa standar atau bahasa-bahasa regional), yang sangat berbeda dan
bervariasi (kadang dengan gramatika yang kompleks) yang membawa pengaruh besar
bagi literatur tertulis, baik pada periode awal maupun pembicaraan komunitas
yang lain, yang dipelajari secara luas dalam pendidikan formal yang digunakan
dalam menulis dan tujuan-tujuan pembicaraan formal, tetapi tidak digunakan pada
beberapa faktor oleh komunitas dalam pembicaraan biasa (Ahmad H.P, 2009; 185)
Wardhaugh menjelaskan berdasarkan
apa yang dirumuskan Ferguson bahwa situasi yang menimbulkan terjadi diaglosia
adalah adanya pembagian fungsi kemasyarakatan yang nyata. Pembagian tersebut dibagi
atas dua varian, yaitu varian bahasa tinggi dan bahasa rendah. Seperti yang terjadi Arab, Swiss, German dan
Haiti, di Arab adanya bahasa Arab Klasik (H) dan Bahasa Arab
sehari-hari (L), di Swiss, adanya bahasa Jerman Swiss (L) dan Jerman Standard
(H), di Haiti adanya pemakaian Kreol Haiti (L) dan Bahasa Prancis (H)
(Wardhaugh, 1998;89)
Hal ini terjadi
pula di Indonesia adanya bahasa
Indonesia sebagai varian bahasa tinggi
(high) dan bahasa-bahasa daerah sebagai
varian bahasa rendah (low), serta bahasa Inggris sebagai varian bahasa tinggi (high)
(Wijana dan Rohmadi, 2010;32).
Romaine dalam Wijana dan Rohmadi menjelaskan pembagian tugas
varian H dan L dalam berbagai situasi, seperti yang telihat pada bagan berikut
ini :
Situasi
|
H
|
L
|
Khotbah
di Gereja dan Masjid
|
+
|
|
Berbicara
kepada pembantu dan pelayan
|
|
+
|
Surat
pribadi
|
|
+
|
Pidato di
parlemen dan pidato pribadi
|
+
|
|
Kuliah
|
+
|
|
Percakapan
dengan keluarga. Teman, dan kolega
|
|
|
Siaran
berita
|
+
|
|
Tajuk
rencana dan berita surat kabar
|
+
|
|
Kartun
Politik
|
|
+
|
Puisi
|
+
|
|
Kesusastraan
rakyat
|
|
+
|
(Sumber:
Wijana dan Rohmadi, 2010; 33)
Pembagian varian bahasa tinggi dan rendah, memberi pemahaman yang
sangat jelas tentang perbedaan fungsi antara bahasa yang satu dengan yang
lainnya dalam masyarakat. Pembagian fungsi bahasa tinggi dan rendah juga dapat
dilihat dari indikator kelas sosial (ekonomi tinggi atau rendah), usia (tua
atau muda), pola perkawinan (satu daerah atau berbeda daerah), lokasi pemakaian
(formal atau non formal) (Wijana dan Rohmadi , 2010; 33)
Selanjutnya
menurut Fishman dalam Ahma H.P, diglosia memiliki hubungan erat dengan
bilingualisme. Perkawinan antara diglosia dan bilingualisme menghasilkan
“situasi kebahasaan baru”. Situasi tersebut digolongkan dalam atas empat
kategori antara lain: (1)
Bilingualisme
dan Diglosia
Yaitu masyarakat yang menguasai baik pemakaian dua
bahasa sesuai dengan fungsinya masing-masing, yaitu bahasa sendiri dan bahasa
masyarakat yang lain.
(2)
Bilingualisme Tidak Diglosia
Adalah masyrakat yang tidak stabil, kurang
mampu memahami fungsi dari kedua bahasa tersebut. Mereka kebanyakan mencampur
adukan kedua fungsi bahasa tersebut. Situasi memungkinkan terjadi pergeseran
bahasa dan dapat menimbulkan diaglosis yang bocor
(3) Diglosia
Tidak Bilingualisme
Diartikan
sebagai kategori yang tidak berkaitan dengan bilingualisme, karena masyarakat
tutur tidak melakukan interaksi verbal.
(4) Tanpa diglosia dan tanpa bilingualisme
Adalah masyarakat yang hanya ada dalam teori, yang
sulit dicari dalam dunia nyata (Ahmad H.P, 2009; 185-187).
Bilingualisme
Arti dari
bilingualisme adalah kedwibahasaan. Orang yang melakukan interaksi dengan orang
lain yang memiliki perbedaam latar belakang, bahasa dan budaya berbeda. Maka
perbedaan latar belakang tersebut mempengaruhi timbulnya bilingualisme.
Masyarakat tersebut akan menggunakan kedua bahasa secara bergantian dalam
kehidupan sehari-hari. Orang yang melaksanakan hal tersebut dinamakan bilingual
(Ahmad, H.P, 2009;188)
Untuk dapat
menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu.
Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang
kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).
Orang yang
dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa
Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua
bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga
kedwibahasawanan).
Ada beberapa ahli
yang menerangkan tentang pengertian kedwibahasaan atau bilingualisme. Salah
satunya adalah Weinrich (Aslinda dkk., 2007:23), ia menyebutkan kedwibahasaan
sebagai ‘The practice of
alternately using two language’, yaitu kebiasaan menggunakan dua
bahasa atau lebih secara bergantian. Dalam penggunaan dua bahasa atau lebih,
jika melihat pengertian menurut Weinrich, penutur tidak diharuskan menguasai
kedua bahasa tersebut dengan kelancaran yang sama. Artinya bahasa kedua tidak
dikuasai dengan lancar seperti halnya penguasaan terhadap bahasa pertama.
Namun, penggunaan bahasa kedua tersebut kiranya hanya sebatas penggunaan
sebagai akibat individu mengenal bahasa tersebut.
Hal di atas tidak
sejalan dengan pengertian bilingualisme menurut Bloomfield (Aslinda dkk.,
2007:23) yang mengemukakan bahwa kedwibahasaan adalah native like control of two languages.
Menurut Bloomfiled mengenal dua bahasa berarti mampu menggunakan dua sistem
kode secara baik. Pendapat Bloomfiled tersebut tidak disetujui atau masih banyak
dipertanyakan karena syarat dari native
like control of two languages berarti setiap bahasa dapat
digunakakn dalam setiap keadaan dengan kelancaran dan ketepatan yang sama
seperti bahasa pertama yang digunakan penuturnya.
Selain kedua
pengertian menurut dua ahli di atas, ada juga Diebold (Chaer, 2004:86) yang
menyebutkan adanya bilingualisme atau kedwibasaan pada tingkat awal (incipient bilingualism).
Menurut Diebold, bilingualisme tingkat awal ini ‘…yaitu bilingualisme yang dialami oleh orang-orang,
terutama oleh anak-anak yang sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap
permulaan. Pada tahap ini bilingualisme masih sederhana dan dalam tingkat
rendah’.
Jika melihat
pernyataan Diebold, benar kiranya apabila kedwibahasaan yang banyak digunakan
oleh orang-orang adalah kedwibahasaan atau bilingualisme pada tingkat awal.
Dalam kegiatan sehari-hari tentunya kita pun tanpa disadari hampir selalu
melaksanakan bilingualisme pada tingkat awal ini. Namun, kebanyakan orang pada
masa sekarang cenderung tidak menguasai kedua bahasa yang digunakannya dengan
tepat.
Selain itu, Chaer
(2004:86) mengutip pendapat Lado bahwasanya bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh
seseorang sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada
pengetahuan dua bahasa bagaimana pun tingkatnya. Pendapat Lado
tersebut rasanya mendukung pernyataan Diebold tentang incipient bilingualisme,
karena Lado tidak menyebutkan sebagaimana Bloomfiled bahwa penguasaan seseorang
yang menganut bilingualisme terhadap bahasa keduanya harus sama dengan bahasa
pertama yang digunakan.
Terlepas dari ada
atau tidaknya pengetahuan seseorang mengenai sistem kedua bahasa yang
digunakan, setidaknya penutur telah mengenal bahasa atau istilah-istilah bahasa
yang digunakannya. Hal itu senada dengan Chaer (2004:84) yang mengemukakan,
Untuk dapat menggunakani dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu.
Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang
kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).
Berbeda
dengan Bloomfield, Lado dan Haugen mengemukakan konsep yang berbeda tentang
pengertian bilingualisme. Menurut Lado, seorang bilingual tidak perlu menguasai
B1 dan B2 dengan derajat yang sama baiknya, tetapi kurang baik pun boleh,
sedangkan bagi Haugen, seseorang yang mengetahui dua bahasa atau lebih sudah
dapat dikatakan sebagai bilingual meskipun dia tidak dapat menggunakan B2-nya
secara aktif. Yang terpenting menurut Haugen adalah pemahaman terhadap bahasa
kedua yang digunakan olehnya itu. Contoh sederhana dapat disebutkan sebagai
berikut: seseorang, selain menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa pertamanya, ia
juga menguasai bahasa Inggris. Akan tetapi, bahasa Inggris yang dikuasai
olehnya tidak dapat dia gunakan secara aktif dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, berdasarkan pendapat Haugen tentang pengertian bilingualisme,
orang yang seperti ini disebut bilingual.
Pendapat
lain mengatakan bahwa, Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua
bahasa. Maksudnya, kedwibahasaan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa atau
lebih oleh seseorang (the alternative use
of two or more languages by the same individual). Perluasan pendapat ini
dikemukakan dengan adanya tingkatan kedwibahasaan dilihat dari segi penguasaan
unsur gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat
keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis (MacKey,
1956). Menurut Hartman dan Stork
(1972:27), kedwibahasaan adalah pemakaian atau penggunaan dua
bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat ujaran. Bloomfield (1958:56),
berpendapat bahwa Kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa
yang sama baiknya oleh seorang penutur. Blomfield merumuskan bahwa kedwibahasaan sebagai penguasaan yang sama baiknya
atas dua bahasa atau native like control
of two languages. Penguasaan dua bahasa dengan kelancaran dan ketepatan
yang sama seperti penutur asli sangatlah sulit diukur. Lebih lanjut Haugen
(1968:10) mengatakan Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan
secara lebih umum maka pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa
secara bergantian baik secara produktif maupun reseftif oleh seorang individu
atau oleh masyarakat. Mengemukakan kedwibahasaan dengan tahu dua bahasa (knowledge of two languages), cukup
mengetahui dua bahasa secara pasif atau understanding
without speaking.
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan berhubungan erat dengan pemakaian
dua bahasa atau lebih oleh seseorang dwibahasawan atau masyarakat dwibahasawan
secara bergantian. Pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara
bergantian baik secara produktif maupun reseftif oleh seorang individu atau
oleh masyarakat. Namun, perlu diperhatikan bahwa kedwibahasaan bukan hanya milik individu,
tetapi harus diperlakukan sebagai milik kelompok, sehingga memungkinkan adanya
masyarakat dwibahasawan.
Berdasarkan bilingualitas, kedwibahasaan dapat dibagi
menjadi empat golongan, antara lain:
1. Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)
Kedwibahasaan
yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik dari
pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada
kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa
dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-sendiri.
2. Kedwibahasaan sejajar (coordinative).
Kedwibahasaan
yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang
individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2.
Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa.
3. Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)
Kedwibahasaan
yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan
B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi
B1, dimana B1 menjadi sekelompok masyarakat bahasa yang kecil yang dikelilingi
dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehingga masyarakat kecil
ini dimungkinkan dapat kehilangan B1-nya.
4. Kedwibahasaan awal (inception bilingualism)
Kedwibahasaan
awal (inception bilingualism) yaitu kedwibahasaan yang dimiliki oleh seorang
individu yang sedang dalam proses menguasai B2.
Baeten
Beardsmore (1985:22) mengelompokkan kedwibahasaan berdasarkan tipologi bahasa
yang didasarkan pada status bahasa yang ada di dalam masyarakat. Kelompok
kedwibahasaan berdasarkan tipologi ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok,
sebagai berikut:
1. Kedwibahasaan Horisontal (horizontal bilingualism)
Kedwibahasaan
horisontal (horizontal bilingualism) merupakan situasi pemakaian dua bahasa
yang berbeda tetapi masing-masing bahasa memiliki status yang sejajar baik
dalam situasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan keluarga dari kelompok
pemakainya.
2. Kedwibahasaan
Vertikal (vertical bilingualism)
Kedwibahasaan
vertikal (vertical bilingualism) merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa
baku dan dialek, baik yang berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh
masyarakat penutur.
3. Kedwibahasaan Diagonal (diagonal bilingualism)
Kedwibahasaan
Diagonal (diagonal bilingualism) merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau
tidak baku secara bersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara
genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu.
Selain
pengelompokan kedwibahasaan seperti yang diuraikan di atas, ada tipe
kedwibahasaan yang dikelompokkan berdasarkan pada kemampuan berbahasa, dalam
hal ini tipe kedwibahasaan
diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
a. Kedwibahasaan
produktif (productive bilingualism)
atau kedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan simetrik (symmetrical bilingualism) yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang
individu terhadap aspek keterampilan
berbahasa yang produktif ( berbicara dan menulis).
b.
Kedwibahasaan reseptif (reseptive
bilingualism) atau kedwibahasaan pasif atau kedwibahasaan asimetrik (asymetrical bilingualism), yaitu
pemakaian dua bahasa oleh seorang individu terhadap aspek keterampilan
berbahasa reseptif, yakni menyimak dan membaca.
B.
Multilingualisme
Multilingualisme
adalah keadaan masyarakat yang mampu atau menguasai dan menggunakan lebih dari
dua bahasa. Multilingualisme tidak jauh berbeda dengan bilingualisme, namun
bilingualisme lebih dikenal. Negara-negara yang menggunakankan bahasa
multilingualisme adalah negara yang mempunyai masyarakat yang beragam budaya
dan beragam suku bangsa seperti Singapura, malaysia, dan termasuk Indonesia. Menurut Gumperz (1971), “ a
multilingual’s facility in moving from one language to another as a occasion
demands but an extension of the monolingual’s capacity to shift register and
styles”. Multilingual dapat dipelajari sebagai fenomena individu dan
social.
D. Alih Kode dan Campur Kode
(1) Pengertian Kode
Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian
di dalam hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa
(seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada
variasi bahasa, seperti varian regional (bahasa Jawa dengan beragam dialeknya),
juga varian kelas sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus
dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan,
gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa
pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak).
Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki
kebahasaan dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan
kode yang terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register.
(2) Alih Kode
Alih kode (code
switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain.
Misalnya, penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa.
Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam
masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang
penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing
bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-masing dan masing-masing fungsi
sesuai dengan konteksnya. Appel memberikan batasan alih kode sebagai gejala
peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi. Suwito (1985) membagi alih
kode menjadi dua:
Pertama, alih kode
ekstern bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa
Inggris atau sebaliknya.
Kedua,alih kode intern bila alih kode berupa alih
varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadi situasi
alih kode dalam berkomunikasi, antara lain.
a. Penutur
Seorang penutur kadang-kadang dengan sengaja beralih
kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya, mengubah situasi dari
resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya.
b. Mitra Tutur
Mitra tutur
yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode
dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan
berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa.
c. Hadirnya Penutur Ketiga
Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran
mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila
latar belakang kebahasaan mereka berbeda.
d. Pokok Pembicaraan
Pokok Pembicaraan atau topik pembicaraan merupakan
faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan
yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral
dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan
bahasa tak baku, gaya
sedikit emosional, dan serba seenaknya.
e.Untuk Memperbaiki Suasana
Untuk membangkitkan rasa humor biasanya dilakukan
dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara.
f. Untuk Menunjukkan Prestise
Untuk sekadar bergengsi walaupun faktor situasi, lawan
bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih
kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan
cenderung tidak komunikatif.
C. Campur Kode
Campur kode
(code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu
bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa
lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti
latar belakang sosil, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri
menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena
keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya,
sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung
satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergensi kebahasaan
(linguistic convergence).
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Campur kode ke dalam (innercode-mixing):
Campur kode
yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya
b. Campur kode ke
luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing.
Latar
belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Sikap (attitudinal type) latar belakang sikap penutur
Sikap
penutur bersumber dari latar belakang
penutur sendiri, maksudnya mungkin karena keterbatasan kemampuan berbahasa yang
dipilih, karena merasa lebih bergengsi menggunakan bahasa-bahasa tertentu agar
terlihat lebih pintar.
b. Kebahasaan (linguistik
type)
Latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi
peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Dengan
demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.
Campur kode dalam bentuk bahasa dapat berwujud;
1.
penyisipan kata
2.
menyisipan frasa,
3.
penyisipan klausa,
4.
penyisipan ungkapan atau idiom, dan
5.
penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing).
D. Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan
Campur Kode
Persamaan alih kode dan campur kode
adalah kedua peristiwa ini lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam
menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata,
yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih
memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena
sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode
dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang
terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi
sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode
dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur
menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia
kejawa-jawaan.
Thelander mebedakan alih kode dan
campur kode, apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan
dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode.
Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur, klausa atau frasa yang digunakan
terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan
masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri
disebut sebagai campur kode.
E. Bilingualisme dan Pengajaran Bahasa
Telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya bahwa bilingualisme, peristiwa yang disebabkan oleh seseorang
berinteraksi dengan orang lain yang memiliki latar belakang suku, bahasa dan
budayanya sendiri, sehingga seseorang memiliki kemampuan berbahasa dalam dua
bahasa (Ahmad H.P, 2009;188)
Pengajaran
bahasa dalam masyarakat bilingualisme tentunya mengacu pengajaran bahasa
nasional, bahasa daerah ataupun juga bahasa asing. Seperti yang terjadi di
Indonesia. Indonesia memiliki tiga macam bahasa yang statusnya berbeda yaitu
(1) bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional atau bahasa resmi negara (2)
bahasa daerah, sebagai bahasa ibu atau bahasa pertama bagi sebagian besar
rakyat indonesia (3) bahasa asing, ialah bahasa yang berasal dari negara lain,
yang dapat digunakan untuk interaksi antarbangsa, juga untuk menggali ilmu
pengetahuan dan teknologi (Chaer dan Agustina, 2004; 215).
Pengajaran bahasa bagi masing-masing
negara memiliki tujuannya masing-masing. Pengajaran bahasa di Indonesia
memiliki tujuan masing-masing, tergantung dari jenjang pendidikan, status
bahasa dan fungsi bahasa. Seperti yang ada pada tabel berikut ini :
|
Indonesia
|
Daerah
|
Asing
|
||
SD SM PT
|
SD
SM PT
|
SD SM PT
|
|||
Penalaran
|
V
V V
|
-
-
-
|
-
-
V
|
||
Interpersonal
|
V
V -
|
V
V -
|
- V V
|
||
Kebudayaan/Pendidikan
|
V V V
|
-
-
-
|
-
-
V
|
(Sumber : Chaer dan Agustina, 2004;213)
Jadi dalam tabel
terlihat bahwa tujuan dari pengajaran bahasa ada tiga yaitu penalaran,
interpersonal, kebudayaan/pendidikan yang masing-masing disesuaikan dengan fungsi
bahasa dan jenjang pendidikan.
Pengajaran
bahasa dalam lingkungan bilingualisme, pasti akan mengalami masalah
sociolinguistik. Masalah-masalah tersebut bisa dikarenakan beberapa faktor
antara lain karena bahasa yang satu tidak serumpun dengan bahasa yang lain,
adanya perbedaan struktur gramatikanya, ataupun adanya pengaruh yang kuat dari bahasa ibu (Chaer dan
Agustina, 2004;215-216).
Menurut Ofilia Garcia
pengajaran yang menggunakan bahasa instruksi yang berbeda dalam kelas misalnya misalnya di
sekolah Filipina menggunaka instruksi bahasa Inggris dan bahasa Filipino, atau di sekolah Tanzania
menggunakan instruksi bahasa ibu (mother tongue) dan bahasa Swashili, ataupun
di sekolah indonesia menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, bahasa
daerah dan bahasa Indonesia, akan lebih mengalami kemajuan dari pada pengajaran
yang hanya menggunakan satu bahasa (monolingual). Kemampuan kognitif dan kreativitas mereka
menjadi lebih bertambah, keuntungan yang lain apabila menggunakan dua bahasa instruksi
dalam kelas, menghacurkan rasisme dan ketidaksetaraan grup pengguna bahasa
(Ofilia Garcia, 1998; 277)
Tetapi semuanya itu juga tergantung
dari berbagai faktor, yaitu (1) agen pendidikan yang baik terdiri dari guru dan
staf yang memiliki kualitas, partisipasi dan dukungan aktif dari orang tua (2)
budaya pendidikan yang baik terdiri dari konteks bilingualisme dan kebijakan
bilingualisme (3) strategi yang mendukung konteks bilingualisme yaitu materi
pengajaran yang berkualitas dan pemberian tugas yang baik (Ofilia Garcia, 1998;
284-285)
III. Kesimpulan
Billingualisme
dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan merupakan akibat dari penggunaan lebih
dari satu kode bahasa oleh seseorang individu atau
masyarakat. Dalam penggunaannya, seorang
dwibahasawan dapat saja menempatkan sesuai dengan situasi dan ragam
pemakaiannya, yang di sebut dengan diglosia. Jadi, Diglosia
adalah merupakan akibat dari valuasi perbedaan fungsional. Adapun Bilingulisme dan diglosia
dapat terjadi sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam suatu komunitas ujar. Hubungan antara keduanya
amatlah tergantung dari aspek dan bagaimana kita memandangnya. Sehingga, istilah kode
dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan, sehingga
selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda,
Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional
(bahasa Jawa dengan beragam dialeknya), juga varian kelas sosial disebut dialek
sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya
dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan
varian kegunaan atau register. Kode ini bisa berupa alih kode
(code switching) dan campur code (code mixing).
Pengajaran
bahasa dalam lingkungan bilingualisme, dapat menimbulkan masalah
sociolinguistik, karena perbedaan rumpun bahasa, perbedaan gramatikal dan
pengaruh dari bahasa ibu. Pengajaran
dapat mengalami kemajuan apabila penerapan dua bahasa sebagai media instruksi
terlaksana. Meskipun demikian semua tergantung dari lingkungan pendidikan yang
mendukungnya.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A.
Chaedar. 1990. Sosiologi
Bahasa. Bandung: Angkasa
Aslinda dan Leni Syafyahya. 2007. Kedwibahasaan, Dwibahasawan, dan Diglosia.
Bandung: Refika Aditama
Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Pengantar Sosiologi
Bahasa. Bandung: Angkasa.
Garcia, Olifia (ed, Florian Caulmas). 1998. The Handbook of Sociolinguistics. USA:
Blackwell Published.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosialinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta
Ohoiwutun,
Paul. 2004. Sosiolinguistik Memahami
Bahasa Dalam Konteks Masyarakat dan kebudayaan. Jakarta: Kesaint Blanc.
H.P, Ahmad. 2009. Linguisitik
Umum: Sebuah Ancangan Memahami Ilmu Bahasa. Jakarta: FITK Press
Nababan, PWJ.
1993. Sosiolinguistik
Suatu Pengantar, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Wardhaugh,
Ronald. 1998. An Introduction to
Sociolinguistik. USA:Blackwell Published.
Wijana,
Dewa Putu. 2010. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analis. Yogjakarta: Pustaka
Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar