Kamis, 02 Juni 2016

SOSIOLINGUISTIK_Bilingualisme dan Pengajaran Bahasa

BILINGUALISME DAN PENGAJARAN BAHASA

I.      Pendahuluan
Manusia adalah makhluk sosial yang hidup berdampingan satu sama lain, yang saling berhubungan dan saling membutuhkan. Agar manusia dapat menjalin kerjasama antara manusia yang satu dengan yang lainnya, mereka menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Manusia selalu menggunakan bahasa dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karena terlalu sering dan biasa manusia menggunakan bahasa untuk berinteraksi, pada umumnya manusia tidak paham apa definisi dari bahasa
 Ada berbagai variasi definisi bahasa yang telah dirumuskan oleh para ahli.  Menurut Brown (1980), bahasa adalah sistem yang sistematis dalam bentuk lambang-lambang manasuka; lambang-lambang tersebut bersifat vokal, tetapi mungkin juga bersifat visual serta mengandung makna konvensional. Wardhaugh (1977) juga  menyebutkan bahwa bahasa adalah suatu sistem lambang bunyi suara yang manasuka (arbitrer), yang digunakan untuk berkomunikasi antarmanusia. Kridalaksana (1983) mempertegas kedua definisi di atas lewat pernyataannya bahwa bahasa adalah sistem lambang yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Hal ini mencerminkan bahwa fungsi bahasa sangatlah penting dalam kehidupan sosial manusia dalam bermasyarakat.


 Penggunaan bahasa sebagai fungsi sosial sangat luas dan  tidak terbatas, maka dalam kehidupan bermasyarakat manusia mungkin memerlukan beberapa bahasa untuk dapat saling berkomunikasi. Ada kemungkinan manusia dalam berkomunikasi menggunakan dua bahasa atau lebih. Sangat jarang sekali ada daerah yang penduduk di dalamnya hanya menggunakan bahasa tunggal (monolingual). Tentunya daerah tersebut dapat dikatakan sebagai daerah yang tertinggal, karena tidak membuka diri dengan perkembangan zaman. Manusia dalam kontak sosialnya menggunakan dua bahasa sebagai alat komunikasi disebut bilingualisme, dalam padanan bahasa Indonesia disebut kedwibahasaan. Sedangkan manusia yang dalam kontak sosialnya menggunakan lebih dari dua bahasa disebut multilingualisme.
 Pada umumnya masyarakat di dunia pada zaman sekarang ini memiliki bilingualisme (kedwibahasaan) untuk berkomunikasi dalam masyarakat.  Masyarakat tutur yang inklusif yaitu memiliki hubungan dengan masyarakat lain, tentu akan mengalami apa yang disebut kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai akibatnya. Peristiwa-peristiwa tersebut yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa itu, di dalam sosiolinguistik disebut bilingualisme, multilingualisme, diglosia, alih kode, campur kode, interferensi, integrasi, konfergensi dan pergeseran bahasa. Khususnya, lingkup kajian kita dalam makalah ini adalah diglosia, bilingualisme dan multilingualisme, alih kode, dan campur kode, serta bilingualisme dan pengajaran bahasa. 
II.  Pembahasan
A.  Diglosia
Istilah diglosia ini pertama kali digunakan dalam bahasa Perancis diglossie yang diserap dari bahasa Yunani. Ahli bahasa Arab dari Perancis yaitu William Marçais juga menggunakan istilah diglossie ini  pada tahun 1930 untuk menuliskan situasi bahasa di dunia Arab. Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Situasi bahasa yang dimaksud adalah terdapatnya perbedaan antara ragam formal atau resmi dan tidak resmi atau non-formal. Contohnya,  di Indonesia terdapat perbedaan antara ragam bahasa tulis dan ragam bahasa lisan.
Istilah diglosia tersebut menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh C.A. Ferguson, seorang sarjana dari Stanford University pada tahun 1958 dalam sebuah symposium tentang “Urbanisasi dan Bahasa-bahasa Standard”  yang diselenggarakan oleh American Antropological Association di Washington DC. Ferguson mengunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing punya peranan tertentu. Diglosia menjadi lebih terkenal ketika Ferguson menulis sebuah artikel yang berjudul “Diglosia (http://irmacadel.blogspot.com/2012/11/sociolinguistik-diglosia.html?m=1 diakses3 April 2013)
 Wardhaugh menyatakan bahwa diglosia terjadi dalam situasi masyarakat yang memiliki sistem kode (bahasa) dimana  fungsinya berbeda antara satu dengan yang lain. satu sistem kode (bahasa) digunakan dalam keadaan tertentu dan  sistem kode (bahasa)  yang lainnya digunakan untuk fungsi yang sama sekali berbeda  (Wardhaugh, 1998;88). Ferguson dalam Wardhaugh juga menjelaskan seperti kutipan di bawah ini

diglossia is a relatively stable language situation in which, in addition to theprimary dialects of the language (which may include a standard or regional standards), there is a very divergent, highly codified (often grammatically more complex) superposed variety, the vehicle of a large and respected body of written literature, either of an earlier period or in another speech community, which is learned largely by formal education and is used for most written and formal spoken purposes butis not used by any sector of the community for ordinary conversation (Wardhaugh, 1998;88)

 yang dapat diartikan  bahwa diglosia adalah situasi pemakaian bahasa yang stabil, walaupun ada penambahan pada dialek-dialek dasar (kadang memasukan suatu bahasa standar atau bahasa-bahasa regional), yang sangat berbeda dan bervariasi (kadang dengan gramatika yang kompleks) yang membawa pengaruh besar bagi literatur tertulis, baik pada periode awal maupun pembicaraan komunitas yang lain, yang dipelajari secara luas dalam pendidikan formal yang digunakan dalam menulis dan tujuan-tujuan pembicaraan formal, tetapi tidak digunakan pada beberapa faktor oleh komunitas dalam pembicaraan biasa (Ahmad H.P, 2009; 185)
                       Wardhaugh menjelaskan berdasarkan apa yang dirumuskan Ferguson bahwa situasi yang menimbulkan terjadi diaglosia adalah adanya pembagian fungsi kemasyarakatan yang nyata. Pembagian tersebut dibagi atas dua varian, yaitu varian bahasa tinggi dan bahasa rendah.  Seperti yang terjadi Arab, Swiss, German dan Haiti,  di Arab  adanya bahasa Arab Klasik (H) dan Bahasa Arab sehari-hari (L), di Swiss, adanya bahasa Jerman Swiss (L) dan Jerman Standard (H), di Haiti adanya pemakaian Kreol Haiti (L) dan Bahasa Prancis (H) (Wardhaugh, 1998;89)
 Hal ini terjadi pula  di Indonesia adanya bahasa Indonesia  sebagai varian bahasa tinggi (high)  dan bahasa-bahasa daerah sebagai varian bahasa rendah (low), serta bahasa Inggris sebagai varian bahasa tinggi (high) (Wijana dan Rohmadi, 2010;32).
 Romaine dalam Wijana dan Rohmadi menjelaskan pembagian tugas varian H dan L dalam berbagai situasi, seperti yang telihat pada bagan berikut ini :

Situasi
H
L
Khotbah di Gereja dan Masjid
+

Berbicara kepada pembantu dan pelayan

+
Surat pribadi

+
Pidato di parlemen dan pidato pribadi
+

Kuliah
+

Percakapan dengan keluarga. Teman, dan kolega


Siaran berita
+

Tajuk rencana dan berita surat kabar
+

Kartun Politik

+
Puisi
+

Kesusastraan rakyat

+
 (Sumber: Wijana dan Rohmadi, 2010; 33)

Pembagian varian bahasa tinggi dan rendah, memberi pemahaman yang sangat jelas tentang perbedaan fungsi antara bahasa yang satu dengan yang lainnya dalam masyarakat. Pembagian fungsi bahasa tinggi dan rendah juga dapat dilihat dari indikator kelas sosial (ekonomi tinggi atau rendah), usia (tua atau muda), pola perkawinan (satu daerah atau berbeda daerah), lokasi pemakaian (formal atau non formal) (Wijana dan Rohmadi , 2010; 33)
Selanjutnya menurut Fishman dalam Ahma H.P, diglosia memiliki hubungan erat dengan bilingualisme. Perkawinan antara diglosia dan bilingualisme menghasilkan “situasi kebahasaan baru”. Situasi tersebut digolongkan dalam atas empat kategori antara lain:                   (1)    Bilingualisme dan Diglosia
Yaitu masyarakat yang menguasai baik pemakaian dua bahasa sesuai dengan fungsinya masing-masing, yaitu bahasa sendiri dan bahasa masyarakat yang lain.
(2) Bilingualisme Tidak Diglosia
Adalah masyrakat yang tidak stabil, kurang mampu memahami fungsi dari kedua bahasa tersebut. Mereka kebanyakan mencampur adukan kedua fungsi bahasa tersebut. Situasi memungkinkan terjadi pergeseran bahasa dan dapat menimbulkan diaglosis yang bocor
(3)   Diglosia Tidak Bilingualisme
Diartikan sebagai kategori yang tidak berkaitan dengan bilingualisme, karena masyarakat tutur tidak melakukan interaksi verbal.
 (4)  Tanpa diglosia dan tanpa bilingualisme
Adalah masyarakat yang hanya ada dalam teori, yang sulit dicari dalam dunia nyata (Ahmad H.P, 2009; 185-187). 
Bilingualisme
Arti dari bilingualisme adalah kedwibahasaan. Orang yang melakukan interaksi dengan orang lain yang memiliki perbedaam latar belakang, bahasa dan budaya berbeda. Maka perbedaan latar belakang tersebut mempengaruhi timbulnya bilingualisme. Masyarakat tersebut akan menggunakan kedua bahasa secara bergantian dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang melaksanakan hal tersebut dinamakan bilingual (Ahmad, H.P, 2009;188)
Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).
Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasawanan).
Ada beberapa ahli yang menerangkan tentang pengertian kedwibahasaan atau bilingualisme. Salah satunya adalah Weinrich (Aslinda dkk., 2007:23), ia menyebutkan kedwibahasaan sebagai ‘The practice of alternately using two language’, yaitu kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian. Dalam penggunaan dua bahasa atau lebih, jika melihat pengertian menurut Weinrich, penutur tidak diharuskan menguasai kedua bahasa tersebut dengan kelancaran yang sama. Artinya bahasa kedua tidak dikuasai dengan lancar seperti halnya penguasaan terhadap bahasa pertama. Namun, penggunaan bahasa kedua tersebut kiranya hanya sebatas penggunaan sebagai akibat individu mengenal bahasa tersebut.
Hal di atas tidak sejalan dengan pengertian bilingualisme menurut Bloomfield (Aslinda dkk., 2007:23) yang mengemukakan bahwa kedwibahasaan adalah native like control of two languages. Menurut Bloomfiled mengenal dua bahasa berarti mampu menggunakan dua sistem kode secara baik. Pendapat Bloomfiled tersebut tidak disetujui atau masih banyak dipertanyakan karena syarat dari native like control of two languages berarti setiap bahasa dapat digunakakn dalam setiap keadaan dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti bahasa pertama yang digunakan penuturnya.
Selain kedua pengertian menurut dua ahli di atas, ada juga Diebold (Chaer, 2004:86) yang menyebutkan adanya bilingualisme atau kedwibasaan pada tingkat awal (incipient bilingualism). Menurut Diebold, bilingualisme tingkat awal ini ‘…yaitu bilingualisme yang dialami oleh orang-orang, terutama oleh anak-anak yang sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini bilingualisme masih sederhana dan dalam tingkat rendah’.
Jika melihat pernyataan Diebold, benar kiranya apabila kedwibahasaan yang banyak digunakan oleh orang-orang adalah kedwibahasaan atau bilingualisme pada tingkat awal. Dalam kegiatan sehari-hari tentunya kita pun tanpa disadari hampir selalu melaksanakan bilingualisme pada tingkat awal ini. Namun, kebanyakan orang pada masa sekarang cenderung tidak menguasai kedua bahasa yang digunakannya dengan tepat.
Selain itu, Chaer (2004:86) mengutip pendapat Lado bahwasanya bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua bahasa bagaimana pun tingkatnya. Pendapat Lado tersebut rasanya mendukung pernyataan Diebold tentang incipient bilingualisme, karena Lado tidak menyebutkan sebagaimana Bloomfiled bahwa penguasaan seseorang yang menganut bilingualisme terhadap bahasa keduanya harus sama dengan bahasa pertama yang digunakan.
Terlepas dari ada atau tidaknya pengetahuan seseorang mengenai sistem kedua bahasa yang digunakan, setidaknya penutur telah mengenal bahasa atau istilah-istilah bahasa yang digunakannya. Hal itu senada dengan Chaer (2004:84) yang mengemukakan,
Untuk dapat menggunakani dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).
Berbeda dengan Bloomfield, Lado dan Haugen mengemukakan konsep yang berbeda tentang pengertian bilingualisme. Menurut Lado, seorang bilingual tidak perlu menguasai B1 dan B2 dengan derajat yang sama baiknya, tetapi kurang baik pun boleh, sedangkan bagi Haugen, seseorang yang mengetahui dua bahasa atau lebih sudah dapat dikatakan sebagai bilingual meskipun dia tidak dapat menggunakan B2-nya secara aktif. Yang terpenting menurut Haugen adalah pemahaman terhadap bahasa kedua yang digunakan olehnya itu. Contoh sederhana dapat disebutkan sebagai berikut: seseorang, selain menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa pertamanya, ia juga menguasai bahasa Inggris. Akan tetapi, bahasa Inggris yang dikuasai olehnya tidak dapat dia gunakan secara aktif dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, berdasarkan pendapat Haugen tentang pengertian bilingualisme, orang yang seperti ini disebut bilingual.
Pendapat lain mengatakan bahwa, Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa. Maksudnya, kedwibahasaan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang (the alternative use of two or more languages by the same individual). Perluasan pendapat ini dikemukakan dengan adanya tingkatan kedwibahasaan dilihat dari segi penguasaan unsur gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis (MacKey, 1956). Menurut  Hartman dan Stork (1972:27), kedwibahasaan adalah pemakaian atau penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat ujaran. Bloomfield (1958:56), berpendapat bahwa Kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang penutur. Blomfield merumuskan bahwa kedwibahasaan sebagai penguasaan yang sama baiknya atas dua bahasa atau native like control of two languages. Penguasaan dua bahasa dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penutur asli sangatlah sulit diukur. Lebih lanjut Haugen (1968:10) mengatakan Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara lebih umum maka pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseftif oleh seorang individu atau oleh masyarakat. Mengemukakan kedwibahasaan dengan tahu dua bahasa (knowledge of two languages), cukup mengetahui dua bahasa secara pasif atau understanding without speaking.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan berhubungan erat dengan pemakaian dua bahasa atau lebih oleh seseorang dwibahasawan atau masyarakat dwibahasawan secara bergantian. Pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseftif oleh seorang individu atau oleh masyarakat. Namun, perlu diperhatikan bahwa  kedwibahasaan bukan hanya milik individu, tetapi harus diperlakukan sebagai milik kelompok, sehingga memungkinkan adanya masyarakat dwibahasawan.
Berdasarkan bilingualitas, kedwibahasaan dapat dibagi menjadi empat golongan, antara lain:
1. Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik dari pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-sendiri.
2. Kedwibahasaan sejajar (coordinative).
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa.
3. Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi B1, dimana B1 menjadi sekelompok masyarakat bahasa yang kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehingga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat kehilangan B1-nya.
4. Kedwibahasaan awal (inception bilingualism)
Kedwibahasaan awal (inception bilingualism) yaitu kedwibahasaan yang dimiliki oleh seorang individu yang sedang dalam proses menguasai B2.
Baeten Beardsmore (1985:22) mengelompokkan kedwibahasaan berdasarkan tipologi bahasa yang didasarkan pada status bahasa yang ada di dalam masyarakat. Kelompok kedwibahasaan berdasarkan tipologi ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok, sebagai berikut: 
1.    Kedwibahasaan Horisontal (horizontal bilingualism)
 Kedwibahasaan horisontal (horizontal bilingualism) merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing bahasa memiliki status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan keluarga dari kelompok pemakainya.
2.  Kedwibahasaan Vertikal (vertical bilingualism)
Kedwibahasaan vertikal (vertical bilingualism) merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh masyarakat penutur.
3.  Kedwibahasaan Diagonal (diagonal bilingualism)
Kedwibahasaan Diagonal (diagonal bilingualism) merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara bersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu.
Selain pengelompokan kedwibahasaan seperti yang diuraikan di atas, ada tipe kedwibahasaan yang dikelompokkan berdasarkan pada kemampuan berbahasa, dalam hal ini tipe  kedwibahasaan diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
a. Kedwibahasaan produktif (productive bilingualism) atau kedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan simetrik (symmetrical bilingualism) yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang individu terhadap  aspek keterampilan berbahasa yang produktif ( berbicara dan menulis).
b. Kedwibahasaan reseptif (reseptive bilingualism) atau kedwibahasaan pasif atau kedwibahasaan asimetrik (asymetrical bilingualism), yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang individu terhadap aspek keterampilan berbahasa reseptif, yakni menyimak dan membaca. 
B. Multilingualisme
Multilingualisme adalah keadaan masyarakat yang mampu atau menguasai dan menggunakan lebih dari dua bahasa. Multilingualisme tidak jauh berbeda dengan bilingualisme, namun bilingualisme lebih dikenal. Negara-negara yang menggunakankan bahasa multilingualisme adalah negara yang mempunyai masyarakat yang beragam budaya dan beragam suku bangsa seperti Singapura, malaysia, dan termasuk Indonesia. Menurut Gumperz (1971), “ a multilingual’s facility in moving from one language to another as a occasion demands but an extension of the monolingual’s capacity to shift register and styles”. Multilingual dapat dipelajari sebagai fenomena individu dan social.
D. Alih Kode dan Campur Kode
(1)  Pengertian Kode
Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional (bahasa Jawa dengan beragam dialeknya), juga varian kelas sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak).
Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register.

(2)  Alih Kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya, penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-masing dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi. Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua:
Pertama, alih kode ekstern bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya.
Kedua,alih kode intern bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama.
 Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadi situasi alih kode dalam berkomunikasi, antara lain.

a. Penutur
 Seorang penutur kadang-kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya, mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya.
b. Mitra Tutur
Mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa.

c. Hadirnya Penutur Ketiga
Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda.

d. Pokok Pembicaraan
 Pokok Pembicaraan atau topik pembicaraan merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa tak baku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
e.Untuk Memperbaiki Suasana
 Untuk membangkitkan rasa humor biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara.
f. Untuk Menunjukkan Prestise
 Untuk sekadar bergengsi walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif.
C. Campur Kode
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosil, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergensi kebahasaan (linguistic convergence).
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:
a.    Campur kode ke dalam (innercode-mixing):
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya
b.     Campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing.

 Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:

a.   Sikap (attitudinal type) latar belakang sikap penutur
 Sikap penutur  bersumber dari latar belakang penutur sendiri, maksudnya mungkin karena keterbatasan kemampuan berbahasa yang dipilih, karena merasa lebih bergengsi menggunakan bahasa-bahasa tertentu agar terlihat lebih pintar.
 b.    Kebahasaan (linguistik type)
 Latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
 Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.
Campur kode dalam bentuk bahasa dapat berwujud;
1. penyisipan kata
2. menyisipan frasa,
3. penyisipan klausa,
4. penyisipan ungkapan atau idiom, dan
5. penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing).
D. Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
 Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazim terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan.
Thelander mebedakan alih kode dan campur kode, apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur, klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.
 E. Bilingualisme dan Pengajaran Bahasa
      Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa bilingualisme, peristiwa yang disebabkan oleh seseorang berinteraksi dengan orang lain yang memiliki latar belakang suku, bahasa dan budayanya sendiri, sehingga seseorang memiliki kemampuan berbahasa dalam dua bahasa (Ahmad H.P, 2009;188)
 Pengajaran bahasa dalam masyarakat bilingualisme tentunya mengacu pengajaran bahasa nasional, bahasa daerah ataupun juga bahasa asing. Seperti yang terjadi di Indonesia. Indonesia memiliki tiga macam bahasa yang statusnya berbeda yaitu (1) bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional atau bahasa resmi negara (2) bahasa daerah, sebagai bahasa ibu atau bahasa pertama bagi sebagian besar rakyat indonesia (3) bahasa asing, ialah bahasa yang berasal dari negara lain, yang dapat digunakan untuk interaksi antarbangsa, juga untuk menggali ilmu pengetahuan dan teknologi (Chaer dan Agustina, 2004; 215).

Pengajaran bahasa bagi masing-masing negara memiliki tujuannya masing-masing. Pengajaran bahasa di Indonesia memiliki tujuan masing-masing, tergantung dari jenjang pendidikan, status bahasa dan fungsi bahasa. Seperti yang ada pada tabel berikut ini :
  
tujuan
Jenjang
                Bahasa
Indonesia
Daerah
Asing
SD     SM     PT
SD      SM     PT
SD     SM   PT
Penalaran
V        V         V
-          -        -
-          -     V
Interpersonal
V        V         -
V          V        -
-        V      V
Kebudayaan/Pendidikan
V         V        V
-         -         -
-         -      V 
(Sumber : Chaer dan Agustina, 2004;213)
 Jadi dalam tabel  terlihat bahwa tujuan dari pengajaran bahasa ada tiga yaitu penalaran, interpersonal, kebudayaan/pendidikan yang masing-masing disesuaikan dengan fungsi bahasa dan jenjang pendidikan. 
             Pengajaran bahasa dalam lingkungan bilingualisme, pasti akan mengalami masalah sociolinguistik. Masalah-masalah tersebut bisa dikarenakan beberapa faktor antara lain karena bahasa yang satu tidak serumpun dengan bahasa yang lain, adanya perbedaan struktur gramatikanya, ataupun adanya  pengaruh yang kuat dari bahasa ibu (Chaer dan Agustina, 2004;215-216).
             Menurut  Ofilia Garcia  pengajaran yang menggunakan bahasa instruksi yang  berbeda dalam kelas misalnya misalnya di sekolah Filipina menggunaka instruksi bahasa Inggris dan bahasa  Filipino, atau di sekolah Tanzania menggunakan instruksi bahasa ibu (mother tongue) dan bahasa Swashili, ataupun di sekolah indonesia menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, bahasa daerah dan bahasa Indonesia, akan lebih mengalami kemajuan dari pada pengajaran yang hanya menggunakan satu bahasa (monolingual).  Kemampuan kognitif dan kreativitas mereka menjadi lebih bertambah, keuntungan yang lain apabila menggunakan dua bahasa instruksi dalam kelas, menghacurkan rasisme dan ketidaksetaraan grup pengguna bahasa (Ofilia Garcia, 1998; 277)
 Tetapi semuanya itu juga tergantung dari berbagai faktor, yaitu (1) agen pendidikan yang baik terdiri dari guru dan staf yang memiliki kualitas, partisipasi dan dukungan aktif dari orang tua (2) budaya pendidikan yang baik terdiri dari konteks bilingualisme dan kebijakan bilingualisme (3) strategi yang mendukung konteks bilingualisme yaitu materi pengajaran yang berkualitas dan pemberian tugas yang baik (Ofilia Garcia, 1998; 284-285)  
 III.       Kesimpulan
 Billingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan merupakan akibat dari penggunaan lebih dari satu kode bahasa oleh seseorang individu atau masyarakat. Dalam penggunaannya, seorang dwibahasawan dapat saja menempatkan sesuai dengan situasi dan ragam pemakaiannya, yang di sebut dengan diglosia.  Jadi, Diglosia adalah merupakan akibat dari valuasi perbedaan fungsional. Adapun Bilingulisme dan diglosia dapat terjadi sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam suatu komunitas ujar. Hubungan antara keduanya amatlah tergantung dari aspek dan bagaimana kita memandangnya. Sehingga, istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional (bahasa Jawa dengan beragam dialeknya), juga varian kelas sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register. Kode ini bisa berupa alih kode (code switching) dan campur code (code mixing).
 Pengajaran bahasa dalam lingkungan bilingualisme, dapat menimbulkan masalah sociolinguistik, karena perbedaan rumpun bahasa, perbedaan gramatikal dan pengaruh dari bahasa ibu.  Pengajaran dapat mengalami kemajuan apabila penerapan dua bahasa sebagai media instruksi terlaksana. Meskipun demikian semua tergantung dari lingkungan pendidikan yang mendukungnya.


DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. 1990. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa
Aslinda dan Leni Syafyahya. 2007. Kedwibahasaan, Dwibahasawan, dan Diglosia. Bandung: Refika Aditama
Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.
Garcia, Olifia (ed, Florian Caulmas). 1998. The Handbook of Sociolinguistics. USA: Blackwell Published.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosialinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta
Ohoiwutun, Paul. 2004. Sosiolinguistik Memahami Bahasa Dalam Konteks Masyarakat dan kebudayaan. Jakarta: Kesaint Blanc.
H.P, Ahmad. 2009. Linguisitik Umum: Sebuah Ancangan Memahami Ilmu Bahasa. Jakarta: FITK Press
Nababan, PWJ. 1993. Sosiolinguistik Suatu Pengantar, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Wardhaugh, Ronald. 1998.  An Introduction to Sociolinguistik. USA:Blackwell Published.

Wijana, Dewa Putu. 2010. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analis. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar