Aku
Hanya Belum Tahu
Oleh Adam Syammas Zaki Purnomo
“Memberi manfaat seluas-luasnya
pada sesama”
Dunia ini aneh. Untuk apa aku
dilahirkan di dunia ini? Apa tujuan dari hidup ini? Andaikan aku boleh memilih.
Aku hanya ingin jadi penonton. Penonton orang-orang bodoh di bumi. Aku bahkan bingung, untuk apa penciptaan
manusia ini? Mereka semua berebut sesuatu. Saling tikam, bunuh satu sama lain.
Setidaknya itulah yang menjadi pemandanganku setiap hari di televisi. Saat aku
mulai berpikir tentang ini, umurku menginjak usia dua belas tahun.
Kadang aku benci jadi diriku sendiri.
Aku dilahirkan sebagai bagian dari salah satu etnis yang terbesar dan tersebar
di dunia ini. Kulit kami sangat sedikit mengandung melamin, bahkan mungkin
tidak ada, dan bola mata kami mungkin hampir tak terlihat. Masih lekat
ingatanku, karena rupa kami ini, keluargaku menjadi sasaran amuk massa tahun
1998. Rumah kami yang lama hangus, dagangan ayah habis dijarahi semua. Saat itu
umurku enam tahun, aku hanya bisa menangis. Untunglah saat itu ayah masih memiliki
sedikit uang untuk kami sekeluarga pindah dari Jakarta. Itu adalah sedikit dari
sekian banyak alasanku untuk berpikir bahwa manusia bumi ini benar-benar bodoh.
Keluarga kami sedikit berbeda,
tidak seperti keturunan etnis Tionghoa yang lain. Di mana mereka semua pada
saat itu adalah orang-orang kaya. Pedagang-pedagang sukses. Biasanya anak-anak
mereka disekolahkan di sekolah swasta yang mahal. Tidak seperti ayahku, ayahku
hanyalah pedagang makanan biasa. Ayahku cukup toleran dengan pelanggannya
masalah hutang. Begitu banyak pelanggan yang berhutang pada ayahku dan kemudian
tidak dibayar. Mungkin lupa. Tapi ayahku tak pernah menagihnya. Mungkin itulah
sebab mengapa keluarga kami selalu pas-pasan. Walaupun ayahku hanya punya aku sebagai
anaknya, seringkali ayahku menunda bayaran untuk sekolahku. Padahal sekolahku
bukanlah sekolah swasta. Itulah gambaran betapa susahnya hidup menjadi anak
ayahku.
Tak jarang aku mendapat ejekan
dari teman-temanku dengn ejekan ‘cina’. Dunia seperti menolak keberadaanku, ke
darat di usir, ke laut pun tak bisa berenang. Jika aku bergaul dengan anak dari
saudara-saudara ayah lainnya, mereka seperti tak menganggapku saudara. Mungkin
mereka jijik dengan pakaian kumalku.
Begitupun perlakuan yang aku dapatkan di sekolah. Tapi aku cukup bangga bahwa
pemegang kasta siswa terpintar di kelas tak pernah luput dariku
Haha.
Di usiaku yang sekarang menginjak
hampir dua puluh dua tahun. Aku hampir menyelesaikan studiku di College
William and Mary jurusan fisika murni tanpa sepeser pun uang dari orang
tuaku. Ya, itulah aku, dengan segala keterbatasan aku mampu bertahan hidup.
Bahkan mendapatkan apa yang tak semua orang bisa dapatkan.
Mempelajari alam adalah sesuatu
yang misterius. Semua temanku selalu berkata bahwa alam ada penciptanya. Aku belum
percaya Tuhan. Aku belum menemukan bukti konkrit bahwa Tuhanlah yang
menciptakan semuanya. Hanya sebatas sampai tahap ‘mungkin Tuhan itu ada’. Semua
ini tak lain karena apa yang aku alami sejak kecil. Semua orang berkata Tuhan Mahaadil,
Tuhan Mahakasih, Mahabijaksana. Tapi semua yang orang katakan sangat bertolak
belakang dengan apa yang aku lihat di masyarakat. Mengapa pula Tuhan menciptakan manusia di bumi
hanya untuk membangkang kepadanya? Mengapa pula Tuhan menciptakan manusia
berbeda-beda sehingga hampir seumur hidupku di Indonesia aku di hujat oleh
orang-orang sekitarku? Mengapa Tuhan begitu kejam memberikan hidup yang serba
nyaman untuk segelintir orang dan serba susah untuk lainnya? Manusia harus
bekerja keras dengan sendirinya untuk mendapatkan kenyamanan tersebut bukan?
Begitu banyak pertanyaan dalam benakku yang mematahkan bahwa Tuhan itu ada.
Namun di balik semua pikiran
logisku, sebenarnya aku merasa hampa. Sekali lagi, aku tidak tahu apa itu
tujuan hidup. Apakah hanya untuk mengumpulkan harta, bersenang-senang dan
berbagi dengan yang lain. Agar dunia ini adil, aku merasa perlunya ada
kehidupan kedua untuk memberikan konsekuensi pada setiap orang atas apa yang
dia pernah lakukan sebelumnya jika konsekuesni yang diterima di kehidupan ini
belum cukup. Bayangakan, seseorang yang telah mencurahkan waktu dan tenaganya untuk membantu orang lain, bahkan dia tak
sempat mengurusi dirinya sendiri, kemudian mati dan tidak mendapatkan apa-apa?
Lalu kapan dia akan mendapatkan kenyamanan hidup? Sebaliknya, seorang koruptor
yang telah merugikan banyak orang, hidup mewah dan bersenang-senang selama
hidupnya, tidakkah dia juga harus merasakan kesengsaraan. Baiklah, semua agama
mengatakan bahwa akan adanya kehidupan lagi setelah kehidupan ini. Kehidupan
yang mereka sebut abadi, kehidupan sebenarnya dimana semua orang akan
mendapatkan konsekuensi atas apa yang mereka lakukan. Namun sebelum aku
menemukan bukti konkrit bahwa Tuhan itu ada, aku tak akan mengimaninya.
Bagaimana sekonyong-konyong kau percaya sesuatu padahal ada keraguan dalam
hatimu. Aku hanya belum menemukan bukti.
Musim panas berakhir, di sisa
satu semester ini, aku harus menyelesaikan skripsi ku tentang mekanika kuantum.
Dua minggu pertama ini adalah masa perkenalan untuk para junior. Setiap senior
sepertiku ini mendapat tugas sebagai mentor dalam mnggu-minggu ini.
Setelah upacara peresmian mahasiswa
baru, semua junior disilahkan menaruh barang-barangnya di asrama. Sebagai
mahasiswa baru pada dua tahun pertama, mereka wajib tinggal di asrama. Setelah
itu barulah sesi mentoring dimulai, juniorku terdiri dari empat orang. Tiga
orang berasal dari Amerika dan menariknya, satu orang sisanya cukup unik
bagiku. Pemuda berasal dari Uzbekistan. Jamal namanya. Baru kali ini aku
melihat orang yang begitu santun seperti dia. Cara berbicaranya kepada orang lain menimbulkan
simpati seketika. Ah, andaikan semua orang di dunia ini seperti dia, tentu
dunia tak akan seperti ini. Agamanya adalah Islam. Berbeda sekali dengan
orang-orang Islam yang pernah kutemui dahulu di Indonesia. Berbeda sekali
dengan yang selama ini selalu diberitakan bahwa orang Islam itu barbar dan
segala macamnya. Aku pun cukup tertarik mengetahui lebih lanjut mengenai Jamal.
“Pagi Kevin, apa kabar? “ sapa
Jamal.
“Pagi ini cukup cerah, namun tak
secerah pikiranku haha,” balas ku singkat.
“Sebelumnya mohon maaf, bisakah
nanti sore aku ke apartemenmu. Aku sedikit mendapatkan kesulitan dalam mata
kuliah Fisika Modern. Beberapa istilah kurang popular bagiku,” Pintanya denga
sopan.
“Sebentar, apakah aku ada agenda
sore ini? Daaaaaan ternyata tidak, silahkan datang!” balasku sambil tersenyum.
“Sebelumnya, berkenankah engkau
sediakan koran bekas?”
“Untuk apa gerangan?” tanyaku
heran.
“Untuk aku beribadah, mohon maaf
sekali telah merepotkan,” sekali lagi, dirinya begitu sopan kepadaku.
Aku termenung sejenak. Seperti
apakah ibadahnya orang muslim. Kekacauan di Indonesia membuat keluarga kami
pindah ke Singapura. Belum pernah sekalipun aku melihat secara langsung
bagaimana umat Islam beribadah.
Begitu banyak yang tak ketahui
tentang Islam dibanding agama yang lain. Apakah aku terlalu subjektif dalam
menilai agama Islam? Mungkin saat inilah yang paling tepat untuk mengetahui apa
sebenarnya isi ajaran islam tersebut.
“Ah tak apa, begitu banyak berita
tentang politik dan ekonomi di koran. Itu semua membuatku muak. Silahkan ambil
sesukamu sesampainya di rumah,” balasku ramah.
Menurutku, ibadah yang dilakukan
Jamal tak lain seperti sebuah gerakan meditasi. Namun agak berbeda dengan
biasanya, Jamal harus membasuh beberapa bagian tubuhnya sebelum melakukan
ibadah tersebut. Ada gerakan yang cukup unik bagiku, gerakan menempelkan dahi
ke lantai. Mungkin bagi sebagian orang terlihat aneh dan primitif, aku
memaknainya sebagai wujud kerendahan hati seorang manusia akan eksistensinya di
dunia ini. Begitu tenang kuliaht Jamal, menentramkan jiwa. Setelah selesai
melakukan meditasi tersebut, Jamal membaca sebuah buku berbahasa Arab. Mungkin
itu adalah kitab sucinya. Aku sangat menghargai Jamal, dia tak pernah
menyingunggku mengenai apa agamaku. Tak pernah secara verbal mendakwahkan
agamanya. Ia ‘sekadar’ menyuguhkanku contoh yang memiliki banyak makna jika
seseorang mau menerimanya. Dari perilakunya sehari-hari, bagaimana cara dia
bersosialisasi. Perasaan menghargai satu sama lain meskipun dia tak sependapat
denganmu. Dia memilih untuk bergaul dengan siapa saja, jauh berbeda dengan
orang-orang Islam yang dahulu kutemui di Indonesia. Mereka selalu merasa benar
dan bertindak secara kasar terhadap orang non muslim.
Kontak sosialku dengan Jamal
lama-lama meningkat frekueansinya, ketertarikanku terhadap agam ini mulai
muncul. Jamal memberikanku sebuah buku yang berjudul ‘Al-Qur’an’ dalam
terjemahan bahasa Inggris.
“Untuk apa Jamal?” tanyaku Heran.
“Kulihat kau akhir-akhir ini
belum menemukan topik untuk riset kelulusanmu. Buku ini akan memberimu inspirasi
untuk itu. Percayalah!” jawabnya yakin.
Tertawa lebar aku seketika.
Dikiranya aku bodoh mungkin, haha. Aku tahu Al Qur’an merupakan kitab suci umat
islam. Bagaimana bisa dia memberikan ini untuk inspirasi riset kelulusanku.
Setahuku selama ini agama selalu bertentangan dengan sains. Terlebih setelah
apa yang terjadi di Eropa pada abad pertengahan. Berbagai macam penemuan sains
yang bertentangan dengan pernyataan gereja ditikam habis-habisan. Agama tak
lain hanyalah tempat bagi mereka yang sedikit mengalami depresi hidup, pikirku. Tolong pisahkan agama dengan
sains. Tapi tentu aku tidak mengatakan semua itu secara langsung, yang pasti
akan membuat Jamal tersinggung.
“Aku tahu mungkin aku bercanda. Silahkan
cari di Google dengan keyword ‘Al-Quran dan sains’. Aku akan
mentraktirmu besok jika kau tak menemukan apa-apa!” jawabnya sekali lagi tegas.
Menarik.
Esok harinya adalah momen yang
bersejarah dalam hidupku.
“Tak mungkin, ini tak mungkin!”
hatiku berdegup kencang. Keringat dingin mengucur deras membasahi hampir
seluruh tubuhku. Dibuat setengah mati aku melihat semua fakta ini.
Al-Quran 21: 30 “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak
mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang
padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.”
Seperti
yang pernah kupelajari. Berdasarkan pengamatan Edwin Hubble, ia menemukan bahwa
bintang memancarkan cahaya merah sesuai dengan jaraknya. Artinya bintang-bintang
ini bergerak menjauhi kita. Penemuan lain Hubble yaitu ternyata bintang-bintang
tak hanya bergerak menjauhi kita, tapi bergerak menjauhi satu sama lain. Setiap
benda menjauhi satu sama lain menandakan bahwa alam semesta terus mengembang.
Arti mengembang di sini mengartikan bahwa dahulu kala sebelum semuanya menjauhi
satu sama lain, perhitungan menunjukkan bahwa dahulu kala alam semesta berasal
dari titik tunggal dengan semua materi alam berada didalamnya, volume nol dan
kepadatan tak terhingga. Sesuai dengan yang terdapat dalam surat Al-Anbiya
ayat tiga puluh bahwa dahulu langit dan bumi merupakan satu padu. Kemudian dari
satu titik ini terjadi ledakan besar yang disebut dengan Bigbang.
Al-Quran
51: 47 “Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya
Kami benar-benar meluaskannya.” Bahkan secara eksplisit Al-Quran menyatakan
bahwa alam semesta terus mengembang. Teori Bigbang mengatakan bahwa
pembentukan alam semesta terbagi menjadi enam tahap. Dan lagi-lagi kutemukan
hal tersebut dalam Al-Quran. Al-Quran 11: 7 “Dialah yang menciptakan langit dan
bumi dalam waktu enam masa.”
Proses
pembentukan janin manusia pun secara jelas terdapat dalam Al-Quran 23:12-14.
Sungguh heran aku dibuatnya. Bagaimana bisa seorang Muhammad yang konon tak bisa
baca tulis membuat sebuah buku yang mampu mengungkap fakta sains padahal belum
ada teknologi yang memadai empat belas abad yang lalu. Artinya sebenarnya fakta
ini telah ada jauh sebelum para ilmuwan menyadari hal tersebut. Apakah ini ulah
Tuhan? Benarkah? Semakin gugup diriku berhadapan dengan fakta ini. Dan ternyata
masih banyak lagi. Tanganku gemetar hebat, adakah semua ini buatan Tuhan?
Ya,
semua ini buatan Tuhan. Tuhan itu ada, Tuhan itu satu. Dan Muhammad adalah
utusan Tuhan. Segera bangkit diriku, berlari keluar menuju apartemen Jamal. Aku
akan masuk Islam.
“Puji
syukur kepada Allah yang telah memberi hidayah pada sahabatku Kevin,” sambil
meneteskan air mata.
“Terimakasih
atas segala tuntunan yang kau berikan padaku. Kau menyuguhkannya begitu apik dan
halus. Sebuah berlian yang diberikan sopan tentu orang akan tahu betapa
berharganya berlian tersebut. Dan kau telah melakukan itu padaku. Kau tak
pernah menyinggung fakta bahwa aku adalah atheis, kau tak pernah memprovokasiku
secara verbal untuk masuk Islam. Kau hanya memberikan contoh yang baik, dari
perilakumu, perkataanmu, caramu menghargai orang lain membuatku menaruh simpati
padamu. Hingga aku sadar, inilah sesungguhnya ajaran Islam yang benar,” penuh
rasa bangga pada temanku yang satu ini.
Sejak
saat itu semuanya kian jelas, tujuan hidupku, untuk apa manusia diciptakan. Aku
merasa seperti terlahir kembali, menemui titik balik kehidupanku. Islam telah
membebaskanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar