Sebuah Nama dan Peristiwa
Oleh M
Rifki Ariq P
“Hidup
itu pilihan. Maka dalam hidup,
memilihlah dengan bijak.”
Di saat kata
pertama tertulis padaku, di saat itulah aku pertama kali hidup. Saat di mana sebuah nama tertulis
padaku. Thamrin Harahap. Nama seseorang yang menjadikanku bermakna. Sedang aku tak memiliki
nama.
Aku tidak
dapat bergerak, bisu,
dan tuli, namun aku bisa melihat dunia. Di saat lembaranku terbuka, di saat
itulah aku melihat.
Lembaranku
pertama kali dibuka di hadapan seorang pemuda berwajah tirus, dengan kumis tipis yang
menggantung di atas bibirnya. Ia memegangku dengan tangan kurusnya. Wajahnya
terlihat sedikit pucat, mungkin
karena kelelahan. Dapat kulihat melalui sorot matanya yang coklatdan senyum
tipis di bibirnya, sepertinya
ia sedang senang.
Beberapa jam
setelah itu, ia kembali membuka diriku. Ia membuka diriku di atas ranjangnya.
Saat itu sudah malam, aku dapat melihat purnama lewat jendela di dekat
ranjangnya. Ia mulai menuliskan sesuatu, dengan pena yang sama seperti saat ia
menuliskan namanya. Begini tulisnya:
4 Agustus
1997
Hari ini hari ulang tahunku yang ke-18. Seseorang
memberikanku hadiah berupa buku catatan ini. Hmm, semoga buku ini bisa
meningkatkan motivasiku untuk menulis. Berhubung aku sebentar lagi mulai masuk
kuliah, mungkin akan banyak hal menarik yang bisa kutulis di sini.
Paragraf
pertama yang ditulisnya cukup singkat, namun tulisan ini sangat berkesan bagiku,
karena inilah pargraf pertama yang dituliskannya padaku. Paragraf pembuka yang
akan mengantarkan pada tulisan-tulisan yang menjadi sebuah saksi sejarah.
Semenjak saat
itu, Thamrin, begitu aku memanggilnya, hampir selalu membawaku ke tempat-tempat
yang ia kunjungi. Ke tempatnya berkuliah, gunung, pantai, bahkan terkadang ia
masih membawaku saat ke toilet dan menuliskan kata-katanya di situ.Thamrin
seorang pemuda yang cerdas, ia seringkali menuliskan gagasan serta ide-ide
kreatifnya padaku. Ia juga cukup aktif di kegiatan-kegiatan organisasi kampus.Berbulan-bulan
semenjak ia menuliskan kata pertamanya padaku, semakin sering ia menceritakan
pengalamannya padaku, aku ingat ia pernah menceritakan padaku mengenai kondisi
politik pada masa itu. Ia pernah menuliskan protesnya terhadap pemerintahan
kala itu. Tahun 1998, kekuasaan masih dipegang oleh orang yang sama sejak sekitar
30 tahun yang lalu. Krisis moneter menyebabkan harga-harga barang pada saat itu
melambung tinggi. Rakyat
mulai bosan dan mulai menuntut orang tersebut untuk turun dari jabatannya.
Rakyat menuntut diadakannya reformasi, dan Thamrin terlibat di dalamnya.
Sebuah lubang
yang menganga menembus tubuhku saat ini, lubang selalu mengingatkanku pada
kejadian mengerikan yang dialami oleh Thamrin. Lubang yang menjadi saksi akan
sejarah kelam negeri ini. Sebutir peluru pernah menembusku.
11 Mei
1998
Hari
ini mahasiswa kampus menggelar rapat untuk persiapan demonstrasi besok. Rapat
dipimpin ketua senat, Julianto. Rapat
tersebut secara garis besar membahas tentang rangkaian jalannya demonstrasi.
Rencananya, kami akan memulai demo dengan berkumpul di depan kampus sekitar pukul 11
siang yang kemudian akan dilanjutkan dengan long
march menuju gedung DPR. Gedung DPR itu akan menjadi puncak nya. Kami juga
dihimbau agar tidak rusuh selama demo. Seluruh mahasiswa terlihat sangat
antusias. Kami sudah mempersiapkan spanduk-spanduk untuk besok. Aku sudah tidak
sabar menunggu esok hari, itu akan menjadi hari yang bersejarah buatku.
Hari yang
ditunggu Thamrin datang, tak lupa ia membawaku dan menyelipkanku di kantong
celananya. Ia pergi menuju kampusnya.
Hari itu,
Thamrin tiba-tiba saja membukaku di tengah-tengah demonstrasi. Bukan untuk
menulis sesuatu, namun untuk menutupi wajahnya. Sekilas aku melihat wajahnya
sesaat sebelum ia menempelkan lembaranku di wajahnya. Matanya merah dan berair,
efek gas air mata. Ia menggunakanku untuk menutupi hidung dan matanya dari gas
air mata yang ditembakkan oleh polisi. Sesekali ia menjauhkanku dari wajahnya
lalu menempelkanku kembali di wajahnya. Membuatku dapat sesekali melihat
kekacauan yang terjadi di situ, melihat posisi Thamrin di antara kerumunan orang
yang juga menutupi hidungnya dan berlarian.
Tepat saat
Thamrin menjauhkanku dari wajahnya, tiba-tiba sebutir peluru melesat, mengoyak
tubuhku. Aku terlepas dari genggaman Thamrin, terlempar lalu terjatuh di
jalan. Thamrin tidak mati. Nyaris! Peluru itu menyerempet
pipinya. Lembaran-lembaranku mengubah arah peluru tersebut. Menjauhkannya dari
kepala Thamrin. Hanya sedikit, namun itu begitu menentukan hidup-mati Thamrin.
Peluru itu terus meluncur dengan cepatnya setelah menyerempet pipi Thamrin. Meluncur tepat ke
arah punggung seorang mahasiswa. Darah terciprat dari punggungnya. Sesaat
kemudian mahasiswa itu tumbang, darah merembes dari dalam pakaian yang dikenakannya.Thamrin
yang saat itu masih kaget, berlari kearahku dan memungut diriku yang tergeletak
di jalan. Ia langsung berlari menjauh setelah aku digenggamnya. Lembaranku
ditutup. Gelap.
Malam harinya
ia kembali
membuka diriku. Ia tidak di rumah. Ia masih berada di kampusnya. Menuliskan apa
yang terjadi pada hari itu. Dengan napas
yang tersengal-sengal ia
menulis.
12 Mei
1998
Hari
ini sungguh mengerikan. Suasana demonstrasi berubah mencekam. 4 orang mahasiswa
tewas tertembak. Ada seseorang yang mengguanakan peluru asli. Hampir saja aku
mati hari ini. Salah satu peluru yang membunuh keempat mahasiswa tersebut
sempat terlebih dulu menyerempet pipiku. Buku ini menjadi saksinya. Peluru
tersebut membuat lubang di buku ini sebelum mengenai pipiku. Aku sempat melihat
penembaknya, beberapa lelaki pengendara sepeda motor
melesat di atas jembatan layang yang ada di seberang kampus. Aku tidak dapat
melihatnya dengan jelas apakah mereka polisi atau bukan karena saat itu sudah
mulai gelap. Tapi yang kutahu pasti, mereka menembakkan peluru dengan sangat
profesional.
Kami
gagal melakukan long march menuju gedung DPR, beberapa
mahasiswa sudah berusaha untuk berdiskusi dengan aparat namun hal tersebut tak
membuahkan hasil. Walaupun begitu kami semua sudah berjanji untuk tidak menyulut keributan. Namun
tiba-tiba, seseorang memprovokasi para mahasiswa, menyulut bentrok antara
mahasiswa dengan aparat. Bentrokan tidak dapat dihindari. Gas air mata
ditembakkan begitu juga dengan peluru-peluru karet. Namun “seseorang” menggunakan peluru asli.
Disaat inilah penembakan terjadi dan aku hampir menjadi korbannya.
Besok
kami akan melakukan upacara penghormatan untuk para korban penembakan tersebut.
Aku yakin, besok bahkan mungkin mulai detik ini Indonesia akan bergolak mendengar
kabar penembakan ini.
Esok harinya,
Thamrin kembali lagi bersama barisan para mahasiswa untuk melakukan upacara
penghormatan bagi keempat korban penembakan. Sehabis
upacara, ia sempat membukaku dan menulis.
13 Mei
1998
11.15 WIB
Upacara
telah dilaksanakan. Ribuan mahasiswa memenuhi kampus. Hampir semua tokoh
pengkritik pemerintah turut hadir, memberikan orasinya. Di luar pagar kampus,kerumunan
massa yang tidak diperbolehkan masuk semakin meruah dan membuat kerusuhan.
Mobil-mobil dibakar. Ada provokator di antara mereka.
Semalam,
saat aku dalam perjalanan pulang, tak sengaja kulihat sebuah truk AD berhenti
di belakang sebuah supermarket. Sekitar 20 orang lelaki berpenampilan seram
turun dari dalamnya. Mereka menerima sesuatu dari seorang lelaki berpakaian
hitam. Ia sempat melihat ke arahku dan
aku sempat melihat wajahnya. Jaraknya dariku tidak terlalu jauh, sekitar 10
meter. Aku yang saat itu mengintip dari balik tembok dapat melihat ekspresinya
dengan jelas.
Ia terlihat kesal akan kehadiranku. Aku pun segera berlari menjauh. Lelaki itu
sempat mengejarku beberapa saat, namun kemudian berhenti dan meninggalkanku
yang berlari panik. Aku baru sampai di rumah sekitar pukul 1 pagi.
Sore harinya
ia kembali lagi membukaku di sebuah warung pinggir jalan. Samar-samar aku dapat
melihat asap membumbung tinggi dari gedung-gedung. Saat itu Thamrin terlihat
begitu kelelahan. Ia kembali menulis.
13 Mei
1998
18.15 WIB
Kerusuhan
semakin meluas. Kekacauan terjadi di mana-mana. Langit ibu kota dipenuhi asap. Orang-orang
membakar kendaraan-kendaraan umum juga gedung dan toko-toko pinggir jalan. Orang-orang dari etnis Tionghoa
menjadi korban utama kekacauan
ini. Banyak wanita-wanita dari etnis Tionghoa dilecehkan, bahkan aku sempat
melihat beberapa dari mereka ditelanjangi dan dijadikan tontonan. Sampai saat
ini aku___________
Tulisan
Thamrin terhenti. Seseorang tiba-tiba menarik Thamrin dari arah belakang dan
kemudian menutup mulutnya. Thamrin seketika berusaha memberontak. Namun, seorang lagi ikut
memeganginya. Mereka menyeret Thamrin dan memasukannya ke dalam sebuah truk. Thamrin
tidak sempat mengambilku dan meninggalkan lembaranku terbuka di meja warung
dengan sebuah coretan garis panjang di kata terakhir yang ditulisnya.
Beberapa saat
kemudian, penjaga warung tersebut kembali ke warung miliknya setelah pergi
beberapa saat entah kemana. Ia terlihat terheran-heran melihat pelanggannya
tiba-tiba menghilang dan menemukanku di meja warungnya. Ia kemudian melihat
halaman-halamanku dan menemukan ada nama
dan alamat Thamrin di sana. Lantas
beberapa jam kemudian, penjaga warung menitipkanku ke salah seorang mahasiswa
yang teman satu kampus Thamrin yang kebetulan juga mampir di warungnya,
sepertinya penjaga warung tersebut mengetahui kampus Thamrin dari tulisan Thamrin.
Mahasiswa tersebut pun mengembalikanku ke alamat rumah Thamrin.
***
Bertahun-tahun
setelah kejadian itu, aku tidak pernah melihat wajah Thamrin lagi. Sesekali
lembaranku dibuka, namun yang terlihat di depan sana hanyalah wajah seorang
wanita yang kemudian meneteskan air matanya. Ia wanita yang melahirkan Thamrin.
Ibunya.
Selama itu
aku hanya terbaring di meja yang dulunya digunakan oleh Thamrin. Mengenang masa
lalu, dengan sebuah lubang peluru menganga di tubuhku. Hari demi hari berlalu,
debu semakin lama semakin menyelimutiku. Tak ada lagi yang menuliskan
kata-katanya padaku. Hatiku kosong.
Hingga suatu
hari. Lembaranku tiba-tiba terbuka kembali. Namun yang kulihat bukanlah wajah
seorang wanita melainkan wajah seorang pria yang berdiri gagah. Wajahnya yang
familiar mengembalikan memori masa laluku. Matanya menyembunyikan
peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya. Pria itu tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar