Selasa, 21 Juni 2016

Cerpen_Sebuah Nama dan Peristiwa

Sebuah Nama dan Peristiwa

Oleh M Rifki Ariq P

Hidup itu pilihan. Maka dalam hidup, memilihlah dengan bijak.
Di saat kata pertama tertulis padaku, di saat itulah aku pertama kali hidup. Saat di mana sebuah nama tertulis padaku. Thamrin Harahap. Nama seseorang yang menjadikanku bermakna. Sedang aku tak memiliki nama.
Aku tidak dapat bergerak, bisu, dan tuli, namun aku bisa melihat dunia. Di saat lembaranku terbuka, di saat itulah aku melihat.
Lembaranku pertama kali dibuka di hadapan seorang pemuda  berwajah tirus, dengan kumis tipis yang menggantung di atas bibirnya. Ia memegangku dengan tangan kurusnya. Wajahnya terlihat sedikit pucat, mungkin karena kelelahan. Dapat kulihat melalui sorot matanya yang coklatdan senyum tipis di bibirnya, sepertinya ia sedang senang.
Beberapa jam setelah itu, ia kembali membuka diriku. Ia membuka diriku di atas ranjangnya. Saat itu sudah malam, aku dapat melihat purnama lewat jendela di dekat ranjangnya. Ia mulai menuliskan sesuatu, dengan pena yang sama seperti saat ia menuliskan namanya. Begini tulisnya:
4 Agustus 1997
            Hari ini hari ulang tahunku yang ke-18. Seseorang memberikanku hadiah berupa buku catatan ini. Hmm, semoga buku ini bisa meningkatkan motivasiku untuk menulis. Berhubung aku sebentar lagi mulai masuk kuliah, mungkin akan banyak hal menarik yang bisa kutulis di sini.
Paragraf pertama yang ditulisnya cukup singkat, namun tulisan ini sangat berkesan bagiku, karena inilah pargraf pertama yang dituliskannya padaku. Paragraf pembuka yang akan mengantarkan pada tulisan-tulisan yang menjadi sebuah saksi sejarah.
Semenjak saat itu, Thamrin, begitu aku memanggilnya, hampir selalu membawaku ke tempat-tempat yang ia kunjungi. Ke tempatnya berkuliah, gunung, pantai, bahkan terkadang ia masih membawaku saat ke toilet dan menuliskan kata-katanya di situ.Thamrin seorang pemuda yang cerdas, ia seringkali menuliskan gagasan serta ide-ide kreatifnya padaku. Ia juga cukup aktif di kegiatan-kegiatan organisasi kampus.Berbulan-bulan semenjak ia menuliskan kata pertamanya padaku, semakin sering ia menceritakan pengalamannya padaku, aku ingat ia pernah menceritakan padaku mengenai kondisi politik pada masa itu. Ia pernah menuliskan protesnya terhadap pemerintahan kala itu. Tahun 1998, kekuasaan masih dipegang oleh orang yang sama sejak sekitar 30 tahun yang lalu. Krisis moneter menyebabkan harga-harga barang pada saat itu melambung tinggi. Rakyat mulai bosan dan mulai menuntut orang tersebut untuk turun dari jabatannya. Rakyat menuntut diadakannya reformasi, dan Thamrin terlibat di dalamnya.
Sebuah lubang yang menganga menembus tubuhku saat ini, lubang selalu mengingatkanku pada kejadian mengerikan yang dialami oleh Thamrin. Lubang yang menjadi saksi akan sejarah kelam negeri ini. Sebutir peluru pernah menembusku.
Sehari sebelum kejadian itu, Thamrin menuliskan sesuatu padaku. Begini isinya:


11 Mei 1998
Hari ini mahasiswa kampus menggelar rapat untuk persiapan demonstrasi besok. Rapat dipimpin ketua senat,  Julianto. Rapat tersebut secara garis besar membahas tentang rangkaian jalannya demonstrasi. Rencananya, kami akan memulai demo dengan berkumpul di depan kampus sekitar pukul 11 siang yang kemudian akan dilanjutkan dengan long march menuju gedung DPR. Gedung DPR itu akan menjadi puncak nya. Kami juga dihimbau agar tidak rusuh selama demo. Seluruh mahasiswa terlihat sangat antusias. Kami sudah mempersiapkan spanduk-spanduk untuk besok. Aku sudah tidak sabar menunggu esok hari, itu akan menjadi hari yang bersejarah buatku.
Hari yang ditunggu Thamrin datang, tak lupa ia membawaku dan menyelipkanku di kantong celananya. Ia pergi menuju kampusnya.
Hari itu, Thamrin tiba-tiba saja membukaku di tengah-tengah demonstrasi. Bukan untuk menulis sesuatu, namun untuk menutupi wajahnya. Sekilas aku melihat wajahnya sesaat sebelum ia menempelkan lembaranku di wajahnya. Matanya merah dan berair, efek gas air mata. Ia menggunakanku untuk menutupi hidung dan matanya dari gas air mata yang ditembakkan oleh polisi. Sesekali ia menjauhkanku dari wajahnya lalu menempelkanku kembali di wajahnya. Membuatku dapat sesekali melihat kekacauan yang terjadi di situ, melihat posisi Thamrin di antara kerumunan orang yang juga menutupi hidungnya dan berlarian.
Tepat saat Thamrin menjauhkanku dari wajahnya, tiba-tiba sebutir peluru melesat, mengoyak tubuhku. Aku terlepas dari genggaman Thamrin, terlempar lalu terjatuh di jalan.  Thamrin tidak mati. Nyaris! Peluru itu menyerempet pipinya. Lembaran-lembaranku mengubah arah peluru tersebut. Menjauhkannya dari kepala Thamrin. Hanya sedikit, namun itu begitu menentukan hidup-mati Thamrin. Peluru itu terus meluncur dengan cepatnya setelah  menyerempet pipi Thamrin. Meluncur tepat ke arah punggung seorang mahasiswa. Darah terciprat dari punggungnya. Sesaat kemudian mahasiswa itu tumbang, darah merembes dari dalam pakaian yang dikenakannya.Thamrin yang saat itu masih kaget, berlari kearahku dan memungut diriku yang tergeletak di jalan. Ia langsung berlari menjauh setelah aku digenggamnya. Lembaranku ditutup. Gelap.
Malam harinya ia kembali membuka diriku. Ia tidak di rumah. Ia masih berada di kampusnya. Menuliskan apa yang terjadi pada hari itu. Dengan napas yang tersengal-sengal ia menulis.
12 Mei 1998
Hari ini sungguh mengerikan. Suasana demonstrasi berubah mencekam. 4 orang mahasiswa tewas tertembak. Ada seseorang yang mengguanakan peluru asli. Hampir saja aku mati hari ini. Salah satu peluru yang membunuh keempat mahasiswa tersebut sempat terlebih dulu menyerempet pipiku. Buku ini menjadi saksinya. Peluru tersebut membuat lubang di buku ini sebelum mengenai pipiku. Aku sempat melihat penembaknya, beberapa lelaki pengendara sepeda motor melesat di atas jembatan layang yang ada di seberang kampus. Aku tidak dapat melihatnya dengan jelas apakah mereka polisi atau bukan karena saat itu sudah mulai gelap. Tapi yang kutahu pasti, mereka menembakkan peluru dengan sangat profesional.
Kami gagal melakukan long march menuju gedung DPR, beberapa mahasiswa sudah berusaha untuk berdiskusi dengan aparat namun hal tersebut tak membuahkan hasil. Walaupun begitu kami semua sudah berjanji untuk tidak menyulut keributan. Namun tiba-tiba, seseorang memprovokasi para mahasiswa, menyulut bentrok antara mahasiswa dengan aparat. Bentrokan tidak dapat dihindari. Gas air mata ditembakkan begitu juga dengan peluru-peluru karet.  Namun “seseorang” menggunakan peluru asli. Disaat inilah penembakan terjadi dan aku hampir menjadi korbannya.
Besok kami akan melakukan upacara penghormatan untuk para korban penembakan tersebut. Aku yakin, besok bahkan mungkin mulai detik ini Indonesia akan bergolak mendengar kabar penembakan ini. 
Esok harinya, Thamrin kembali lagi bersama barisan para mahasiswa untuk melakukan upacara penghormatan bagi keempat korban penembakanSehabis upacara, ia sempat membukaku dan menulis.
13 Mei 1998
11.15 WIB
Upacara telah dilaksanakan. Ribuan mahasiswa memenuhi kampus. Hampir semua tokoh pengkritik pemerintah turut hadir, memberikan orasinya. Di luar pagar kampus,kerumunan massa yang tidak diperbolehkan masuk semakin meruah dan membuat kerusuhan. Mobil-mobil dibakar. Ada provokator di antara mereka.
Semalam, saat aku dalam perjalanan pulang, tak sengaja kulihat sebuah truk AD berhenti di belakang sebuah supermarket. Sekitar 20 orang lelaki berpenampilan seram turun dari dalamnya. Mereka menerima sesuatu dari seorang lelaki berpakaian hitam. Ia sempat  melihat ke arahku dan aku sempat melihat wajahnya. Jaraknya dariku tidak terlalu jauh, sekitar 10 meter. Aku yang saat itu mengintip dari balik tembok dapat melihat ekspresinya dengan jelas. Ia terlihat kesal akan kehadiranku. Aku pun segera berlari menjauh. Lelaki itu sempat mengejarku beberapa saat, namun kemudian berhenti dan meninggalkanku yang berlari panik. Aku baru sampai di rumah sekitar pukul 1 pagi.
Sore harinya ia kembali lagi membukaku di sebuah warung pinggir jalan. Samar-samar aku dapat melihat asap membumbung tinggi dari gedung-gedung. Saat itu Thamrin terlihat begitu  kelelahan. Ia kembali menulis.
13 Mei 1998
18.15 WIB
Kerusuhan semakin meluas. Kekacauan terjadi di mana-mana. Langit ibu kota dipenuhi asap. Orang-orang membakar kendaraan-kendaraan umum juga gedung dan toko-toko  pinggir jalan. Orang-orang dari etnis Tionghoa menjadi korban utama kekacauan ini. Banyak wanita-wanita dari etnis Tionghoa dilecehkan, bahkan aku sempat melihat beberapa dari mereka ditelanjangi dan dijadikan tontonan. Sampai saat ini aku___________
Tulisan Thamrin terhenti. Seseorang tiba-tiba menarik Thamrin dari arah belakang dan kemudian menutup mulutnya. Thamrin seketika berusaha memberontak. Namun, seorang lagi ikut memeganginya. Mereka menyeret Thamrin dan memasukannya ke dalam sebuah truk. Thamrin tidak sempat mengambilku dan meninggalkan lembaranku terbuka di meja warung dengan sebuah coretan garis panjang di kata terakhir yang ditulisnya.
Beberapa saat kemudian, penjaga warung tersebut kembali ke warung miliknya setelah pergi beberapa saat entah kemana. Ia terlihat terheran-heran melihat pelanggannya tiba-tiba menghilang dan menemukanku di meja warungnya. Ia kemudian melihat halaman-halamanku  dan menemukan ada nama dan alamat Thamrin di sana. Lantas beberapa jam kemudian, penjaga warung menitipkanku ke salah seorang mahasiswa yang teman satu kampus Thamrin yang kebetulan juga mampir di warungnya, sepertinya penjaga warung tersebut mengetahui kampus Thamrin dari tulisan Thamrin. Mahasiswa tersebut pun mengembalikanku ke alamat rumah Thamrin.
***
Bertahun-tahun setelah kejadian itu, aku tidak pernah melihat wajah Thamrin lagi. Sesekali lembaranku dibuka, namun yang terlihat di depan sana hanyalah wajah seorang wanita yang kemudian meneteskan air matanya. Ia wanita yang melahirkan Thamrin. Ibunya.
Selama itu aku hanya terbaring di meja yang dulunya digunakan oleh Thamrin. Mengenang masa lalu, dengan sebuah lubang peluru menganga di tubuhku. Hari demi hari berlalu, debu semakin lama semakin menyelimutiku. Tak ada lagi yang menuliskan kata-katanya padaku. Hatiku kosong.
Hingga suatu hari. Lembaranku tiba-tiba terbuka kembali. Namun yang kulihat bukanlah wajah seorang wanita melainkan wajah seorang pria yang berdiri gagah. Wajahnya yang familiar mengembalikan memori masa laluku. Matanya menyembunyikan peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya. Pria itu tersenyum. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar