Nyasar Bareng Becak
Oleh Ahmad Abror Al-arsyi Hendana
“Keep Moving Forward”
Seketika di depan rumah sudah banyak orang yang berkumpul,
ada dua orang polisi dan satu mobil polisi yang sedang memarkir di sana. Lalu
tiba-tiba datang mobil polisi yang lain. Seseorang langsung keluar dari mobil
itu dengan cepat.
“Mbak, gak ketemu-ketemu, aku sudah keliling ke mana-mana
sama temen-temenku yang lain,” ujar pria itu kepada seorang ibu yang
sedang memeluk dua anak perempuan.
“Ya Allah..kamu di mana, Sayang?” ujar ibu itu lirih dengan
air mata yang mengalir di pipinya.
***
Hening rasanya, yang terdengar hanya bunyi piring dan sendok
di meja makan. Siang itu merupakan siang yang paling menyebalkan bagiku.
Seharusnya sepulang dari sekolah kakekku atau biasa ku panggil ‘Akung’ sudah
menunggu di depan rumah untuk mengantarku ke rumah beliau sekaligus
berjalan-jalan keliling kota. Tapi, karena Akung ada tugas mendadak,
beliau jadi tidak bisa menjemputku.
“Mah, makan sudah nih,” ujar ku sambil menyodorkan
piring kosong. Aku juga bingung sama mamah, kenapa dia tidak menelpon seseorang
untuk menjemputku atau mengusahakan sesuatu agar aku bisa pergi ke rumah Akung.
Aku lalu berjalan ke teras depan rumah, lalu aku pun duduk.
Yang bisa kulakukan hanyalah menatap jalan yang lengang.
“Ah..! Menyebalkan!!” teriakku sambil melempar batu ke jalan.
Seketika kak Rora sudah berdiri di belakangku.
“Udah…gak papa kok Med, kan masih ada besok,” ucapnya
sambil tersenyum tipis, bermaksud menenagkan. Namun, aku tak menjawab. Walaupun
dia berkata seperti itu, tetap saja ini menyebalkan. Lalu kakakku pun masuk ke
rumah.
Beberapa setelah itu, tiba-tiba ada sebuah becak lewat. Tak
tahu kenapa, ide itu meledak di kepalaku. Aku pun mencoba mengejar dan
berteriak.
”Pak…!Becak Pak!!” lalu becak itu berputar dan menghampiriku.
“Mau kemana, Dek?” tanya tukang
becak, yang sudah tampak berumur, menurutku. “Aku mau ke rumah Akung,
Pak.” ya, itulah ide gilaku. Aku akan pergi sendiri ke rumah Akung
dengan becak ini.
***
“Amed…!!” suara itu sekejap mematahkan keheningan rumah di
tengah siang yang panas.
“Amed…?!!” suara itu semakin kencang dan membahana, terdengar
dari ujung rumah ke ujung lainnya. Di ruang tamu, Ibu itu memanggil-manggil
anaknya. Lama-kelamaan, kesabarannya pun habis. Akhirnya, dia memutuskan untuk
mencari anak itu sendiri.
“Amed..?! Kamu di mana, Nak?” bertanya kebingungan, sambil
mengitari ruang demi ruang.
“Ayu, adek kamu di mana?” di sebuah kamar, Ibu itu
bertemu dengan anak sulungnya.
“Ayu gak tau, Mah. Coba tanya sama dek Rora.” ujar
si Sulung, sambil menunjuk adiknya yang sedang asyik membaca novel di kasur.
“Kamu tau, dek di mana Amed?” tanya Ibu itu.
“Hm…perasaan tadi Amed habis makan siang, tau-tau
keluar gitu ke teras depan, terus gak tau deh kemana.” Jawab
Rora, dengan sedikit cuek, dan terus membaca novel yang dipegang olehnya.
“Astagfirullah..itu adekmu Rora, kenapa gak kamu jaga?” sedikit
membentak. Sang Ibu pun mulai marah dengan perilaku anak keduanya itu. Buku
yang sedang dibaca Rora pun semerta-merta diambil begitu saja.
“Lho! Kok cuma aku sih, kak Ayu kan juga,” Balas Rora
dengan sebal.
“Eh..aku kan tadi gak ikut makan, mestinya…”
“Sudah..sudah!! Pokoknya sekarang cepat cari adekmu sampai
ketemu.” pertengakaran kedua anak itu dipotong langsung oleh sang Ibu. Dan
akhirnya, kedua kakak dari anak bungsu itu mulai mencari Amed di sekeliling
rumah.
***
“Adek tau jalannya ke rumah Akung?” tanya si tukang
becak, mengagetkanku yang sedang melamun.
“Em..tau kok, Pak.” jawabku.
Aku sudah berkali-kali ke rumah Akung, jadi sudah
sewajarnya kalau aku sudah hafal jalan menuju ke rumah beliau. Ide ini
benar-benar gila. Padahal aku belum mengatakan apa-apa pada Ibu dan sebenarnya
aku juga tidak membawa uang sedikitpun.
Ah..nanti nyampe rumah Akung, aku juga bakal
dibayarin, pikirku.
Perjalanan ini akan berlangsung lama, dan aku hanya berdua
dengan tukang becak ini. Aku ingin mencoba mengobrol dengan tukang becak ini.
“Adek namanya siapa?” baru saja aku ingin bertanya, tukang
becak itu sudah bertanya duluan. Mungkin dia berpikir hal yang sama denganku.
“Nama saya Ahmad Abror pak. Tapi saya biasa dipanggil Amed di
rumah. Kalau bapak namanya siapa?” ujarku, balas bertanya.
“Tukiudin, Dek.” jawabnya sambil tersenyum.
***
Tiga puluh menit berlalu, Ibu yang sedang memamasak mulai
khawatir, kenapa kedua anaknya tidak ada yang datang melapor. Tepat setelah Ibu
melangkahkan kakinya keluar dari dapur, kedua anak itu terlihat setengah
berlari menghampirinya.
“Nah..baru aja mau dicariin, lho? Amednya mana,
kok gak ikut kalian?” tanya Ibu, penasaran. Kedua anak itu terlihat gugup,
saling mendorong.
“Kamu aja kak yang ngasih tau,” ucap Rora.
“Ih..kamu aja!” balas si kakak.
“Udah..kenapa jadi berantem lagi sih? Ayo cepet
kasih tau Ibu di mana Amed sekarang.” ucap Ibu tidak sabaran, sambil
berkacak pinggang.
“E...em...e,” gumam Ayu, terlihat keringat dingin mengalir
dari dahinya, lalu dia pun berkata, “Amed hilang, Bu.”
***
Selama perjalanan kami banyak mengobrol. Aku juga
menceritakan kenapa aku pergi naik becak sendirian, padahal aku masih seumuran
anak TK. Pak Tukiudin sangatlah baik, dia terus menanggapi dan sesekali memberi
nasihat kepadaku. Saat sedang asyik mengobrol, aku baru sadar kalau jalan yang
kami lalui tidak terlihat seperti jalan yang biasanya aku dan Akung
lalui saat pergi ke rumah beliau. Pak Tukiudin pun dengan sabar memutar balik
becak dan kembali ke jalan di mana sekiranya aku salah memberi arah. Tak tahu kenapa
hari itu banyak sekali mobil polisi yang berlalu-lalang di jalanan.
”Wah..kayaknya ada sesuatu ini.” ujar Pak Tukiudin. Aku tak
tahu harus menjawab apa, jadi aku hanya diam dan menikmati perjalanan
***
“Astagfirullah!! Amed Hilang?!” kaget Ibu, mendengar laporan
seperti itu dari kedua anak perempuannya.
“Kita udah nyariin sampe ke tetangga-tetangga, Bu. Tapi
Amednya emang gak ada.” ujar si Sulung.
Mata Rora sudah berkaca-kaca, sedih karena adiknya yang
tiba-tiba hilang dan takut karena pasti akan dimarahi sang Ibu. Ibu hanya
memelototi mereka berdua, lalu dia berpikir sejenak, dia tidak mungkin menelpon
suaminya yang sedang bertugas di luar kota dan tidak ingin menelpon ayahnya
karena itu pasti akan merepotkan beliau.
Cuma Rendra yang bisa kumintain tolong, pikirnya.
Tanpa berlama-lama, Ibu langsung menelpon adiknya, Rendra.
“Ren, Amed hilang gak tau ke mana, tolong cari dia.
Mungkin kamu bisa minta bantuan teman-temanmu.” ujarnya di telepon.
Ayu dan Rora hanya bisa melihat dan merasa bersalah.
“Udah…gak papa. Doain aja biar Amed ketemu ya,” ujar Ibu,
“Kalau sudah begini, tak ada lagi yang bisa disalahkan.”
***
“Belok mana, Dek?” tanya Pak Tukiudin.
“Em…kiri, Pak.”
Jawabku.
Sebenarnya, sejak pertama kali tersesat, aku sudah salah
memberi arah pada Pak Tukiudin, aku juga mulai lupa jalan yang biasa aku lalui
dengan Akungku. Tapi, aku tak ingin memberi tahu kepada Pak Tukiudin,
karena menurutku, tak lama lagi kami akan menemukan jalan yang benar. Namun
lama-kelamaan, jalan yang kami lalui terlihat lebih asing di mataku. Gelisah,
itulah yang kurasakan sekarang. Aku takut jika aku tersesat bersama Pak
Tukiudin. Aku takut jika nanti aku dimarahi Ibu. Aku takut kalau nanti akhirnya
aku tak bertemu Akung. Aku takut….tiba-tiba air mata ku keluar, hidungku
terisak, dan aku pun mulai menangis sejadi-jadinya.
“Adek kenapa?” tanya Pak Tukiudin.
Dia langsung menepikan becaknya ke pinggir jalan dan
berhenti. Lalu dia turun dari becak dan berjalan ke depanku.
“Adek kok nangis? Kan mau ketemu sama Akung, jangan
nangis lah!” bujuk Pak Tukiudin.
Sambil menangis aku berkata, “Saya..hiks..lupa jalan..hiks..Pak.”
Aku pasti akan dimarahi juga oleh tukang becak ini, Karena
telah merepotkannya. Tapi, bukannya marah, tapi dia malah tertawa. Hal itu
membuatku jadi bingung sekali.
“Ha..ha..ha..yaudah, sekarang dek Amed maunya gimana?”
tanya Pak Tukiudin dengan tenang dan sambil tersenyum.
“Pulang…hiks..Ibu…hiks…”
jawabku sambil terisak.
Pak Tukiudin hanya tersenyum tipis dan menghapus air mataku
sambil mengusap-usap kepalaku. Tak tahu kenapa aku jadi sedikit lega. Pak
Tukiudin pun memutar balik becaknya dan mulai berjalan menembus keramaian jalan
raya. Mengatarku, pulang ke rumah.
***
Beberapa lama kemudian aku sudah bisa melihat atap rumahku.
Tapi, kenapa di depan rumah banyak sekali orang yang berkumpul? Bahkan ada
banyak mobil polisi. Tunggu sebentar, biasanya Cuma Om Rendra yang datang ke
rumah dengan mobil polisi, tapi ini bukan cuma punya Om Rendra. Saat aku sudah
dekat rumah, Pak Tukiudin membunyikan bel becaknya agar orang-orang bisa
menepi.
“Amed!!” teriakan itu tiba-tiba terdengar, dan sepertinya aku
mengenal suara ini. Ini suara Ibu.
Dari depan teras, Ibu berlari menuju becak yang aku tumpangi,
lalu langsung datang memelukku.
“Ya Allah...Alhamdulillah, Med. Untung kamu gak
kenapa-kenapa,” ujar Ibuku sambil menangis, “Kalau mau ke rumah Akung
lagi bilang ke ibu ya,” ujar Ibu sambil erat memelukku. Lalu, Kak Ayu dan Kak
Rora pun datang memelukku.
“Amed, maafin kakak ya gak bisa jagain kamu.” Ujar Kak
Ayu.
“Kak Rora juga ya, Med.” Kak Rora pun juga memelukku.
Ternyata memang ada Om Rendra, dia hanya tersenyum melihatku. Aku hanya bingung
dengan semua ini, apalagi orang-orang bertepuk tangan senang melihat kami. Pak
Tukiudin pun tertawa senang.
Hari ini, walaupun aku
tak bisa ke rumah Akung, adalah hari yang tak akan pernah aku lupakan.
Hari ini bukanlah hari yang menyebalkan. Aku merasa telah mengalami petualangan
yang seru. Hari ini, adalah hari yang menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar