Metafora dalam Alquran
Tak dapat disangkal, setiap
bahasa mengenal kata
atau ungkapan yang bersifat
metaforis, termasuk bahasa
yang digunakan dalam Alquran. Alquran diturunkan Allah
swt. dalam bahasa Arab.
Kosakata yang digunakan
umumnya digunakan pula oleh masyarakat Arab pada masa turunnya, tapi
gaya susunannya yang bukan prosa dan bukan pula
puisi, serta keindahan nada yang dihasilkannya menjadikan pakar-pakar bahasa
Arab ketika itu mengakui bahwa
mereka tak mampu
menyusun semacam redaksi
ayat-ayat Alquran. Hal ini memberi petunjuk atau
kesan bahasa Alquran berbeda
dengan bahasa yang digunakan
ketika itu.
M.
Quraish Shihab menegaskan bahwa pemahaman Alquran tak
terlepas dari pemahaman kosakata atau ungkapan yang digunakan
orang-orang Arab pada
masa turunnya. Apabila terbukti mereka menggunakan metafora dalam
percakapan mereka, tentunya dalam Alquran hal yang demikian
pasti ditemukan. Mengapa demikian? Karena Alquran diturunkan dengan
bahasa Arab dengan tujuan agar dapat mereka pahami isi dan maksudnya sebagaimana
diungkap dalam Alquran surat Fushshilat
ayat 3.1
Keberaadaan
metafora dan usaha-usaha menafsirkan metafora dalam Alquran menimbulkan pro dan kontra di kalangan para ahli tafsir.
Sebagaimana dijelaskan oleh M. Quraish Shihab, mereka yang
menolak pemahaman metaforis
dalam teks-teks keagamaan, menggunakan dua
argumentasi.
Pertama,
metafora dianggap sama dengan kebohongan, sedangkan Alquran adalah
firman-firman Allah yang suci dari hal tertentu. Kedua, seorang pembicara tidak
akan menggunakan metafora kecuali jika
ia tak mampu menemukan kosakata atau ungkapan yang bersifat
hakiki, dan tentunya harus diyakini bahwa Allah maha mampu atas segala
sesuatu.
Kedua argumentasi di atas jelas sekali kekeliruannya, sehingga berbagai ahli
menolaknya. Ibnu Qutaibah
menolak dengan menyatakan, "Seandainya metafora
atau majaz dinilai kebohongan, maka alangkah
banyaknya ucapan-ucapan kita merupakan kebohongan."
Al-Sayuthi
dalam M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa metafora adalah
unsur keindahan bahasa dan jika
ia ditolak keberadaannya dalam Alquran, maka tentunya sebahagian unsur keindahan pun
tak akan ada padanya.

1M. Quraish Shihab,”Persoalan
Penafsiran Metaforis atas Fakta-Fakta Tekstual” dalam Budhy Munawar-Rachman Kontekstualisasi
Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan Paramadina,1994),
hlm.1—2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar