Minggu, 21 Februari 2016

Gaya Bahasa


 Gaya Bahasa
Penggunaan gaya bahasa atau majas dalam suatu tulisan atau pembicaraan menjadi perhatian tersendiri. Sebagai bagian dari perangkat retorika, gaya bahasa menjadi unsur yang penting untuk dibicarakan, meskipun bukan merupakan yang utama (primer). Gaya bahasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kegiatan menulis atau berbicara. Setiap bentuk tulisan atau pembicaraan akan mencirikan siapa penulis atau siapa pembicaranya dapat dikenali dari gaya bahasa yang digunakannya. Tulisan yang dibuat oleh penulis dengan gaya penulisan atau gaya bahasa  yang baik akan lebih mudah dipahami dan lebih dapat dinikmati oleh pembacanya dibandingkan dengan tulisan yang tidak menggunakan gaya yang baik.


Penggunaan istilah gaya bahasa berakar dari penggunaan istilah kata gaya atau style. Gorys Keraf membatasi pengertian style atau gaya bahasa “cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).”[1]  Hal yang kurang lebih sama, diungkapkan oleh Imam Syafi’I, menurut Imam Syafi’i “Gaya penulisan yaitu cara penampilan diri penulis dalam mengarang sebagaimana terlihat dalam karangannya”.[2]
Seymour Chatman dalam Epstein merangkum pengertian style ke dalam  empat macam yaitu (1) ‘gaya yang baik’, sebagai karakteristik yang membedakan ‘penulis yang baik’, (2) ‘cara indnividu’, sebagai tanda objektif yang membedakan individu yang satu dengan lainnya, (3) hiasan tambahan dari konten, seperti gaya elokusio, (4) reaksi kesopanan secara verbal, yaitu sebagai cara atau tingkat berbicara yang sesuai dalam konteks yang berbeda (gaya sehari-hari, gaya formal, dan sebagainya)[3]
McCrimmon menyebutnya dengan istilah figure of speech. Lebih lanjut dikatakan McCrimmon bahwa figure of speech yang sering digunakan oleh pembicara atau penulis adalah analogi, simile, metafora, personifikasi, dan sindiran (allusion). Tiap-tiap jenis figure of speech tersebut menggunakan beberapa jenis perbandingan, tetapi masing-masing memiliki bentuk dan karakteristik tersendiri.[4]
Istilah figure of speech bagi Gorys Keraf digunakan untuk pengertian gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya suatu makna. [5] Labih lanjut Keraf mengelompokkan jenis majas berdasarkan langsung tidaknya makna ini menjadi dua kelompok yakni 1) gaya bahasa retoris dan 2) gaya bahasa kiasan.[6]
Mengingat banyaknya sudut pandang yang berbeda mengenai gaya bahasa sebagaimana dikemukakan antara satu pakar dengan pakar lainnya, maka dalam penelitian ini, pengertian gaya bahasa dibatasi pada tinjaun dari sudut pandang maknanya. Sebagaimana dikatakan oleh McCrimmon dan Gorys Keraf dengan istilah figure of speech. Hal ini sejalan pula dengan apa yang dikemukakan oleh Seymour Chatman  yakni  gaya bahasa yang dimaknai sebagai hiasan tambahan dari konten, seperti gaya elokusio. Pertimbangan penulis membatasi gaya bahasa dari sudut pandang makna karena gaya bahasa dari sudut pandang pilihan kata dan sudut pandang struktur kalimat telah dibicarakan dalam pembahasan diksi dan kalimat. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud gaya bahasa dalam penelitian ini adalah penggunaan bahasa yang maknanya  sudah mengalami penyimpangan dari makna dasarnya atau mengalami pergeseran dari makna denotasinya. 
Berdasarkan pembatasan ini, gaya bahasa sebagaimana dikemukakan Keraf, dikelompokkan menjadi dua macam yakni gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Pada bagian berikut  akan dipaparkan tiap-tiap jenis gaya bahasa sesuai dengan pengelompokkan tersebut.



[1] Gorys Keraf, Diksi Gaya Bahasa (Jakarta: PT Gramedia, 2007),  h. 113.

[2] Imam Syafi’I,  Retorika dalam Menulis, (Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas, 1988) h. 163.

[3] E.L. Epstein, Language and Style, (London and New York: Routledge, 2007), h.10.

[4] James M. McCrimmon, Writing With a Purpose (United States: Houhton Mifflin Company, 1992) h.143.

[5] Gorys Keraf, op.cit. h.129.

[6] Gorys Keraf, Ibid., h.h.112-145.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar