Penggunaan gaya bahasa atau majas dalam suatu tulisan
atau pembicaraan menjadi perhatian tersendiri. Sebagai bagian dari perangkat
retorika, gaya bahasa menjadi unsur yang penting untuk dibicarakan, meskipun
bukan merupakan yang utama (primer). Gaya bahasa menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam kegiatan menulis atau berbicara. Setiap bentuk tulisan atau
pembicaraan akan mencirikan siapa penulis atau siapa pembicaranya dapat
dikenali dari gaya bahasa yang digunakannya. Tulisan yang dibuat oleh penulis
dengan gaya penulisan atau gaya bahasa
yang baik akan lebih mudah dipahami dan lebih dapat dinikmati oleh
pembacanya dibandingkan dengan tulisan yang tidak menggunakan gaya yang baik.
Penggunaan istilah gaya bahasa berakar dari penggunaan
istilah kata gaya atau style. Gorys
Keraf membatasi pengertian style atau
gaya bahasa “cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).”[1] Hal yang kurang lebih sama, diungkapkan oleh
Imam Syafi’I, menurut Imam Syafi’i “Gaya penulisan yaitu cara penampilan diri
penulis dalam mengarang sebagaimana terlihat dalam karangannya”.[2]
Seymour Chatman dalam Epstein merangkum pengertian style ke dalam empat macam yaitu (1) ‘gaya yang baik’,
sebagai karakteristik yang membedakan ‘penulis yang baik’, (2) ‘cara
indnividu’, sebagai tanda objektif yang membedakan individu yang satu dengan
lainnya, (3) hiasan tambahan dari konten, seperti gaya elokusio, (4) reaksi
kesopanan secara verbal, yaitu sebagai cara atau tingkat berbicara yang sesuai
dalam konteks yang berbeda (gaya sehari-hari, gaya formal, dan sebagainya)[3]
McCrimmon menyebutnya dengan istilah figure of speech. Lebih lanjut dikatakan McCrimmon bahwa figure of speech yang sering digunakan
oleh pembicara atau penulis adalah analogi, simile, metafora, personifikasi,
dan sindiran (allusion). Tiap-tiap jenis figure
of speech tersebut menggunakan beberapa jenis perbandingan, tetapi
masing-masing memiliki bentuk dan karakteristik tersendiri.[4]
Istilah figure of
speech bagi Gorys Keraf digunakan untuk pengertian gaya bahasa berdasarkan
langsung tidaknya suatu makna. [5]
Labih lanjut Keraf mengelompokkan jenis majas berdasarkan langsung tidaknya
makna ini menjadi dua kelompok yakni 1) gaya bahasa retoris dan 2) gaya bahasa
kiasan.[6]
Mengingat banyaknya sudut pandang yang berbeda mengenai
gaya bahasa sebagaimana dikemukakan antara satu pakar dengan pakar lainnya,
maka dalam penelitian ini, pengertian gaya bahasa dibatasi pada tinjaun dari
sudut pandang maknanya. Sebagaimana dikatakan oleh McCrimmon dan Gorys Keraf
dengan istilah figure of speech. Hal
ini sejalan pula dengan apa yang dikemukakan oleh Seymour Chatman yakni
gaya bahasa yang dimaknai sebagai hiasan tambahan dari konten, seperti
gaya elokusio. Pertimbangan penulis membatasi gaya bahasa dari sudut pandang
makna karena gaya bahasa dari sudut pandang pilihan kata dan sudut pandang
struktur kalimat telah dibicarakan dalam pembahasan diksi dan kalimat. Dengan
demikian, dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud gaya bahasa dalam penelitian
ini adalah penggunaan bahasa yang maknanya
sudah mengalami penyimpangan dari makna dasarnya atau mengalami
pergeseran dari makna denotasinya.
Berdasarkan pembatasan ini, gaya bahasa
sebagaimana dikemukakan Keraf, dikelompokkan menjadi dua macam yakni gaya
bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Pada bagian berikut akan dipaparkan tiap-tiap jenis gaya bahasa
sesuai dengan pengelompokkan tersebut.
[2] Imam Syafi’I, Retorika
dalam Menulis, (Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas, 1988) h. 163.
[3] E.L. Epstein, Language and Style, (London and New York: Routledge, 2007), h.10.
[4] James M. McCrimmon, Writing With a Purpose (United States: Houhton Mifflin Company,
1992) h.143.
[5] Gorys Keraf, op.cit. h.129.
[6] Gorys Keraf, Ibid., h.h.112-145.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar