Nekropolis
“Jauh telah terangkat, layar
telah berkembang, taka da jalan tuk berpaling kecuali menyelesaikan perjalanan
ini”
“Layar sudah terkembang, sauh
sudah diangkat, tak ada jalan untuk berpaling selain menyelesaikan perjalanan
ini.”
Ku buka dengan enggan buku jurnal
yang selalu menjadi pendamping hidupku selama ini. Ku pegang dengan goyah pulpen
bertinta biru yang sudah lusuh
ketinggalan zaman. Dengan gemetar, mulai
kugoreskan kata demi kata yang mungkin akan jadi tulisan terakhir di
buku jurnalku. Tak jarang aku berhenti untuk sekadar mengusap hujaman air mata
yang jatuh perlahan, meluncur membasahi lembar putihnya. Hanyalah harapan yang
membuatku tetap bertahan dengan gemetar, menuliskan pesan terkahirku.
10 Juli 2055 04.00
Jika kau berhasil membaca tulisan
ini, itu berarti ada dua kemungkinan . Kemungkinan pertama, aku telah membusuk di penjara bawah tanah dan tak ada
yang menyadari hilangnya aku. Kemungkinan kedua, aku sudah dibunuh dan lagi-lagi tidak ada yang menyadari aku
telah hilang. Namun, jika kau tahu
tentang aku, tolong, lanjutkan perjuanganku. Perjuangan itu harus tetap dilanjutkan, jika kau ingin
kita (baca: umat manusia) selamat.
o0o
Selamat datang di tahun 2055, di mana teknologi
adalah penguasa utama di atas segalanya. Perkenalkan, namaku Langit. Aku wanita pemilik
perusahaan antivirus ternama di dunia di mana tidak ada yang tidak memakai
antivirusku. Ini adalah buku jurnalku. Semua perjalananku akan tersimpan di buku bersampul coklat ini. Mungkin kalian berpikir
aku ketinggalan jaman karena masih menulis di atas serat pohon, sementara setiap orang sudah punya “benda ajaib” yang disebut gadget. Bukannya
aku ketinggalan jaman namun, aku memang suka menulis dengan tanganku sendiri,
merasakan tinta pulpen biruku tergores
di atas kertas, memanggil memori lama ketika “benda ajaib” itu belum menguasai mereka sepenuhnya. Dan ketahuilah,
tidak ada seorang pun yang dapat meng-hack serat pohon itu. Jadi, tidak akan ada yang tahu tentang pemikiran-pemikiran
liarku dan jiwa pemberontakku yang meneriakkan keadilan.
6
Juli 2055 pukul 07.00 am
Bagus.
Hari ini aku terlambat bangun, padahal ada proyek besar yang harus kusepakati
dengan perusahaan ternama. Dengan sekali telan, kulahap habis nasi goreng sarapanku.
Aku pun mengenakan kostum kebanggaanku, rok panjang bunga-bunga, kemeja putih,
serta kerudung merah muda. Tak biasanya
aku berpenampilan
manis seperti ini. Kalo bukan karena perjanjian dengan perusahaan ternama itu aku tak akan menjadi
feminin seperti ini. Karena, kata ibuku, kesan pertama adalah yang paling
penting. Untuk sentuhan terakhir, aku pun memasang tangan kiri palsuku. Ya, tangan palsu. Kurasa aku lupa meyebutkan bahwa aku
hanya bertangan satu. Aku kehilangan tangan kiriku ketika aku masih SMA. Sudahlah, tak usah
dibahas, itu hanya akan mebangkitkan memori yang menyakitkan. Intinya, aku penyandang disabilitas. Namun, terimakasih kepada tangan palsu
canggih yang kurancang sendiri ini, aku dapat beraktivitas layaknya orang
normal. Setelah tangan palsuku terpasang dengan benar, aku pun menyambar tas
jinjingku dan langsung melesat keluar dari apaertemen dengan kecepatan cahaya.
Aku
pun berlari segesit cheetah, secepat cahaya. Jarak ke kantor yang baisa kutempuh selama 20 menit
berjalan kaki kini dapat kutempuh hanya dengan tujuh menit. Kalian pasti
bertanya mengapa aku tidak naik mobil atau motor saja. Percuma. Jalan dengan
sepeda motor akan memakan waktu satu jam, apalagi mobil. Alasannya adalah
karena di jalan raya sudah di penuhi dengan
baja bermesin itu. Macet
di mana-mana. Di mana-mana, engkau akan menemui pemandangan
manusia-manusia yang terpaku dengan layar bercahaya yang disebut gadget itu. Di mana-mana. Bapak-bapak yang
sedang berada di tengah kemacetan, anak TK yang akan berangkat sekolah begitu
pula dengan ibunya yang tenggelam dalam chatting
grup what’s app. Begitu pula
dengan ribuan manusia lain yang memadati jalanan ini di pagi ini.
Pemandangan yang sudah biasa. Aku
pun sudah terbiasa berlari. Dulu ketika aku di sekolah berasrama, segalanya
harus tepat waktu, dan lari adalah satu-satunya solusi.
“Langit, cepetan! Kita udah hampir telat nih!” Itu
adalah Biru, sabahat karibku sejak aku berada di SMA, teman seperjuangannku di
asrama. Kini dia adalah partner di perusahaanku. Aku berlari menghampirinya
yang tampaknya sudah menungguku sejak lama, terlihat dari muka kusutnya.
“Iya, iya maafin aku. Tadi aku bangun kesiangan.”
Kataku meminta maaf
“Dasar! Kebiasaan. Kalau kontrak ini gagal, mimpi
kita berdua gagal nih!.”
“Buktinya ga telat kan? hehehee”
Kami
pun bergerak memasuki restoran disebelah kantor kami, tempat pertemuan kami
dengan perusahaan gadget ternama, yang akan memakai antivirus kami di
setiap produknya. Ini adalah mimpi kami selama bertahun-tahun.
“Terimakasih Pak atas kerjasamanya, kami harap
perusahaan Bapak tetap menjadi mitra baik kami selama bertahun-tahun ke depan.”
Kataku setelah menandatangani perjanjian dengan perusahaannya
“Iya, terimakasih kembali Ibu Langit dan Ibu Biru.
Kami tunggu produk-produk anda yang lainnya!
“Wah tenang saja Pak. Kami pasti akan mengembangkan
produk baru.”
Perjanjian pun selesai. kami pun beranjak pergi
untuk melanjutkan pekerjaan masing-masing.
“Aku pergi duluan ya, Langit!” kata Biru denga
ceria, seraya melambaikan tangan kepadaku.
“Daaah! Hati-hati ya, Biru!” aku pun membalas
lambaian tangannya, lantas berpaling
untuk pulang ke rumah. Hari sudah mulai malam. Aku sudah berencana untuk
meletakkan kepalaku diatas bantal dan tidur lebih awal. Namun, rencanaku berubah
ketika aku mendengar suara.
BRAAAAAK!
“AAAAAAAAAAAAA!”
Aku menoleh ke arah sumber
suara yang mengusik kedamaian itu, dan mendapati sahabat karibku telah tersungkur
di aspal, bermandikan cairan merah kental. Aku melihat sebuah mobil berplat merah dengan
kecepatan tinggi melesat tak jauh darinya. Biru telah menjadi korban tabrak
lari. Aku pun memegang tangannya, aku panik melihat darahnya yang begitu
deras mengalir. Lukanya begitu parah, dan aku tak tahu harus melakukan apa.
Lantas aku mengeluarkan handphoneku dan memanggil rumah sakit terdekat. Telepon pertama, maaf,
nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Konyol sekali, mana mungkin rumah
sakit mematikan teleponnya? Percobaan kedua, tetap memanggil nomor telepon
rumah sakit yang sama, tiba-tiba handphoneku mati. Padahal aku yakin sekali
bahwa aku mengisi penuh batere handphoneku. Ini semua begitu tidak wajar
seakan ada yang tidak mau aku menyelamatkan Biru. Hampir putus asa, akhirnya
aku meminta tolong orang-orang yang lewat, namun orang-orang itu sibuk dengan
layar bercahaya masing-masing. Aku tau mereka melihat Biru bersimbah darah,
namun mereka hanya melirik melalui ekor mata mereka dan kemudian melanjutkan
keaksyikan mereka dengan dunia mereka sendiri. Tuh kan, kau tidak bisa berharap
banyak pada manusia-manusia hamba gadget itu. Kepanikan yang tiada tara memuncak
dalam diriku, aku pun melakukan segala macam pertolongan pertama yang aku tahu
kepada Biru. Namun tetap saja, darahnya tidak berhenti, lukanya tidak mambaik. Tik
tok tik tok, waktu terus berjalan,
dan Biru butuh pertolongan! Aku pun memutuskan untuk berlari ke rumah
sakit terdekat dan meninggalkan Biru di sini sementara. Ketika sedang mengambil
ancang-ancang, tiba-tiba Biru memegang tanganku dengan lemah.
“Bertahanlah Biru, aku akan segera menyelamatkanmu.
Dasar keji orang yang menabrakmu,
juga orang yang membiarkanmu di sini
sementara mereka asyik dengan gadget mereka!”
“Ja..ngan per…gi, Langit. Te.. mani.. aku.”
“Tapi aku harus mencari pertolongan untukmu, Biru.”
“Ja.. ngan.. te.. ma.. ni.. aaa..ku.. di saat..
terakhirku.”
Air
mataku mulai menetes. Aku marah, aku sedih, aku merasa tak berguna. Aku pun
memegang tangan Biru. Aku mengabulkan permintaannya
untuk tinggal. Aku menemaninya selama dia mau. Dan aku tak pernah menyangka
bahwa itulah saat terkahir aku bertemu dengan Biru, sahabat karibku itu. Dan
tanpa Biru, Langit hanya akan menjadi sendu.
***
“ARRGGH! Tolong!”
Aku menjerit sekuat tenaga. Cairan merah kental mulai mengucur dari lengan
kiriku, begitu deras. Mataku sudah bengkak karena menangis hebat. Lengan kiriku
tertimpa beton bangunan, Aku berteriak minta tolong sekali lagi. No
response. Yang paling parah, teman-temanku duduk di depanku, tak berkutik.
Telinga mereka tersumpal oleh headset, kepala mereka terpaku pada laptop
yang mereka pegang, mata mereka tertutup oleh layar laptop masing-masing.
ketiga kalinya, aku mencoba berteriak. Namun teteap saja, No response. aku
lemas, aku pasrah. Aku merasa itu adalah hari terkahirku di dunia.
Aku terbangun. Aku mimpi buruk lagi. Mimpi yang selalu
menghantui aku sejak di sekolah menengah. Hari ini tanggal 9 Juli 2055, pukul
02.00. Aku memutuskan untuk tidak tidur
lagi. Sebenarnya, mimpi itulah asal usul mengapa aku bertangan satu. Tanganku tak sengaja
kejatuhan beton bangunan. Tanganku berdarah hebat. Aku panik. Dan bagian
terbaiknya, teman-temanku sibuk dengan laptopnya masing-masing tidak peduli
dengan apa yang terjadi padaku. Gadget itu telah menutup mata dan hati
mereka. Itu adalah saat-saat terburuk yang pernah kurasakan, marah, sakit,
sedih dan putus asa dalam satu waktu. Di puncak keputusasaanku, seseorang datang dan mengangkat beton bangunan itu
dengan alat-alat yang ada, kemudian ia menggendongku dan membawaku ke rumah
sakit. Kabar baiknya aku masih ada di dunia ini. Kabar buruknya, aku harus
kehilangan tangan kiriku. Teman-temanku yang membiarkanku bersimbah darah
dihukum oleh guru asramaku. Aku bersyukur sekali masih bisa hidup walaupun
harus kehilangan tangan kiriku. Aku berterimakasih sangat pada orang yang telah menyelamatkanku
itu. dan baru akhir-akhir ini aku mengetahui bahwa orang yang menyelamatkanku
adalah Biru.
Aku
benar-benar tidak bisa tidur, memikirkan Biru.
Memikirkan
tangan kiriku, memikirkan betapa apatisnya orang-orang di dunia ini, yang asyik
dengan dunia fana masing-masing, serta betapa banyaknya korban akibat mereka
yang apatis. Kemudian aku teringat, Biru memberikan padaku sebuah flashdisk
di saat-saat terakhir menjelang kematiannya. Penasaran, aku menambil laptop
Biru dan menyalakannya dan menancapkan flashdisk
itu. Flashdisk itu hanya bisa dibuka di laptop
milik Biru. Isinya hanyalah folder-folder drama korea kesukaannya. Aku membuka
satu folder yang berjudul blue sky. Aku merasa asing. Rasanya aku tak
pernah tahu
ada drama berjudul blue sky. Aku membukanya, dan benar. Ada sebuh file word, aku
membukanya dan membacanya. Aku tertegun. Isinya benar-benar tak terduga. Isinya
berupa tabel-tabel dan angka-angka yang fantastis jumlahnya. Aku juga melihat sebuah rancangan cip dengan
rumus-rumus yang tidak ku mengerti. Ada pula jutaan nama-nama yang asing, Namun, setelah kuteliti kembali aku
mengenali mereka, yaitu pejabat-pejabat tinggi negeri ini. Kemudian aku juga
menemukan sebuah file lagi. Ini adalah tulisan Biru.
Hai Langit? Aku tau pada saatnya
kau akan membaca surat ini. Dan ketika itu terjadi, itu berarti aku sudah
menghilang. Aku ingin kau membaca surat ini baik-baik dan melanjutkan apa yang
kulakukan. Jangan jadikan negeri ini, negeri kampung halaman kita ini menjadi
Nekropolis, negeri yang mati.
Ini adalah alasan mengapa tangan
kirimu hilang, tentang mengapa mereka kini apatis, sibuk di dunia mereka
sendiri yang tak nyata, mengapa telinga mereka selalu tersumbat earphone dan
headphone, mengapa mata mereka betah terpaku pada layar bercahaya, dan mengapa
mereka sudah kehilangan hati nurani mereka. Ternyata, ini adalah kondisi yang
diharapkan oleh mereka yang mengaku tinggi, mengaku bijak, yaitu penguasa
negeri ini. kau sudah melihat file satunya kan? File yang penuh dengan
angka-angka tidak jelas dan juga blueprint cip, dan nama-nama yang tak asing
itu? Itu
adalah rencana mereka yang sudah mereka bangun sejak dulu, menggadaikan
kepercayaan kita dengan uang. Uang yang mereka pergunakan untuk memberi makan
perut mereka yang sudah buncit. Cip yang kau lihat itu adalah awal di mana
semua ini berasal. Tentu kita beruda heran mengapa orang-orang yang mengaku
bijak itu membuat gadget kita masing-masing sebagai pengganti kartu tanda
pengenal? Bahkan memberi subsisidi ponsel untuk seluruh masyarakat. Ternayata
mereka menanamkan cip tersebut di setiap ponsel yang kita punya dan memulai
mencuci otak kita. Aku telah meneliti cip tersebut sejak tiga tahun lalu dan
mendapatkan hasil bahwa memang benar adanya cip tersebut dapat memancarkan
gelombang yang membuat kita ketagihan pada gadget, sehingga mata kita tertutup,
telinga kita tersumpal. Terlebih lagi,
mereka dapat mengetauhi apa yang sedang kita lakukan, di mana kita berada, dan
apa yang kita bicarakan. Menyeramkan. Lantas mengapa mereka melakukan ini? Ah
tentu saja untuk memberi makan perut mereka yang buncit. Alasannya klise, agar
hanya keturunan mereka yang menjadi petinggi, agar hanya mereka yang menguasai
minyak di bawah kaki kita, agar mereka yang dapat menguasai kayu-kayu dipenjuru
hutan, agar mereka bisa berkuasa selamanya, dan kenyang selamanya. Sementara
kita hanya fokus pada gadget kita masing-masing dan tidak peduli terhadap
kekacuan di pelupuk mata mereka, tidak peduli hanya makan kerupuk dan nasi,
yang penting gadget masih bisa nyala. Menakutkan bukan? Sungguh para tirani itu
begitu keji. Sudah banyak yang tahu dan menetang. Namun, selalu saja mereka
hilang tanpa jejak, entah hilang kemana Mungkin aku kan menjadi salah satunya.
Oleh karena itu, kau
harus menghentikannya, atau negeri ini akan menjadi Nekropolis, negeri yang
mati.
Ada sebuah video, aku membukanya, aku kaget. Isinya adalah percakapan antara
presiden negeri ini dan pejabat tinggi negara lain tentang cip itu dan rencana
mereka. Sedikit kurang, beginilah isinya
“Hahahaha! Dengan membungkam mereka, mereka tidak
akan peduli atas apa yang kita lakukan, hahha! Tujuh milyar triliyun dolar akan
ada dikantung kita dan akan menghidupi keturunan kita. Hanya keturunan kita.”
“Benar sekali pak presiden, ide ada sangat
cemerlang. Mereka asti akan sibuk dengan gadget mereka masing-masing. ”
Aku menangis. Aku marah. Merasa bersalah karena
selama ini membiarkan Biru berjuang sendiri melakukan semua ini, dan berakhir
tragis. Aku
baru ingat, mobil tabrak lari yang menabraknya beplat merah artinya, ia adalah pejabat tinggi. Dan aku
teringat ponselku tak bisa kugunakan untuk menelepon rumah sakit. Aku baru
menyadari keganjilan itu rupanya mereka juga mengendalikan ponselku agar aku
tak dapat menelepon rumah sakit. Mereka benar-benar bisa mengendalikan segalanya.
Aku benar-benar marah pada meraka, pejabat tinggi tirani.
Aku tidak ingin semakin banyak orang menjadi korban
cuci otak para tirani itu. Menjadi
budak mereka seumur hidup. Aku tak akan membiarkan Biru meninggal dengan
sia-sia. Aku tak akan membiarkan lengan kiriku hilang begitu saja. Aku akan
menjadi pemantik api yang akan menyebabkan kebakaran hebat. Aku pun melakukan
apa yang harus aku lakukan. Aku mulai bekerja., tidak akan tidur malam ini
***
10 Juli 2055, pukul 07.00
Pagi
ini aku menulis di jurnal coklatku, aku begitu menikmati goresan tinta biru di atas kertas putih buku jurnalku.
Pagi ini aku menulis lagi. Namun, firasatku
mengatakan bahwa ini akan menjadi saat terkahirku untuk menulis di buku jurnalku.
Aku
melakukan hal yang gila. Ini adalah waktu tersibuk selama
sehari, di mana orang-orang sedang berangkat kerja. Maka aku pun meretas televise
billboard yang menjadi pusat iklan di tengah kota. Kemudian, dengan
sekali pencet, aku memasukkan video para tirani itu di ke televise billboard. Dan tak ada yang dapat
menghentikannya kecuali aku sendiri. Dalam waktu sekejap, negeri itu gempar.
Dan dalam satu kedipan mata, pintu apartemenku didobrak, dan orang-orang berseragam hitam
masuk paksa ke kamarku
Aku tahu benar risiko ini. Sebelum mereka datang, aku sudah
berlari melalui pintu belakang. Lari
melewati tangga keluar menuju jalan raya, lari ke mana pun aku bisa. Jantungku
berdebar-debar hebat. Untungnya aku adalah pelari ulung. Sekolah berasramaku
telah mendidikku menjadi pelari secepat kilat. Jantungku bedebar-debar, kakiku
serasa melayang karena cepatnya aku berlari, aku terus berlari, berlari dan
berlari menjauh dari mereka. Tak terasa aku kini telah berada di jalan yang
sepi. Aku sendiri bahkan tak mengenali jalan itu. Aku menegok ke belakang.
Tidak ada mereka. Sepi, kosong, hampa. Aku bisa bernafas lega, akhirnya aku
bisa melarikan diri dari mereka. Mungkin aku akan hidup lebih lama. Aku
pun tetap berlari, entah mengapa, aku
ingin berlari. aku berlari berlari dan berlari terus hingga aku sampai pada
sebuah lapangan yang luas sekali. Aku berlari lagi. Tiba-tiba aku tersandung,
padahal tidak ada apapun. Aku terjatuh, tersungkur mencium rumput. Aku
menolehkan kepalaku ke atas, tampak
di pandangan mataku sebuah papan. Papan itu bertuliskan PENJARA. Bagaimana bisa
aku ke kandang harimau? Bagus, di kejauhan
tiba-tiba aku juga melihat si seragam hitam. Dengan sigap ia lari ke arahku dan
mencengkram lengan kiri palsuku. Dan
ajaib, badanku kaku, aku tak bisa bergerak. Tamatlah riwayatku.
Aku baru mengetahui, ternyata negeri
ini sudah parah stadium 4, karena para tirani itu tak hanya mencuci otak kami,
bahkan dapat mengendalikan kami pula. Seperti aku yang tiba-tiba berlari
langsug ke arah kandang harimau, sementara aku tak sadar aku lari ke mana. Dan
aku sekarang berdiri di hadapan presiden negeri ini. Aku telah dikendalikan
oleh mereka. Dan di hadapanku, berdiri tirani kejam itu, Presiden.
“Kenapa bapak begitu kejam!
Hentikan semua ini, karena cepat atau lambat negeri ini akan menjadi negeri
mati.” Aku berteriak geram kepadanya
“Diam kau anak muda. Seharusnya
kau tak usah melakukan hal gila begini. Coba kalo kau diam saja, mungkin kau
sekarang sedang asyik bermain tab di atas sofa di apartemenmu. Sudahlah,
tak ada yang bisa mengalahkanku. Tak ada yang bisa menghentikanku untuk mengeksploitasi
kalian dan negeri ini. Aku tau halangan terbesarku adalah rakyat-rakyatku
sendiri. Maka ku cuci saja otak mereka biar nurut hahahaa! Tak ada yang
bisa menghentikanku! Hahahaa!”
Aku kemudian diseret ke sebuah
tempat yang luas. Aku tahu
hidupku tak lama lagi. Mataku ditutup oleh kain hitam. Aku bodoh, seharusnya
aku menyusun rencana lebih matang lagi. Tanganku diikat dengan tali yang begitu
kencang. Jantungku berdegup dengan kencang.
DOR!
Aku merasakan sesuatu menghujam
jantungku. Aku meraskan
panas sekujur tubuhku. Aku tahu darahku mengalir hebat. Aku pun tersungkur,
megap-megap tak bisa nafas. Sebuah peluru menghujam jantungku. Jadi, inilah akhir hayatku?
Walaupun ini akhir hayatku,
paling tidak aku sudah memantik api. Kata-kata yang diucapkan presiden gila itu
sudah ku rekam dengan tangan palsu canggihku ini dan langsung terkirim ke
seluruh masyarakat yang sudah pasti memakai antivirusku. Itu akan terputar berulang-ulang kali di gadget
mereka. Aku harap, tergugah hatinya dan mereka terbakar sehingga menyebabkan
kebakaran hebat, membakar para tirani itu. Biarpun aku mati, setidaknya negeri
ini tak akan menjadi Nekropolis, negeri yang mati, karena perjuangan baru saja
dimulai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar