Senin, 22 Februari 2016

Cerpen_Nekropolis

Nekropolis
 Oleh Qatrunnada Hamparan Melati
“Jauh telah terangkat, layar telah berkembang, taka da jalan tuk berpaling kecuali menyelesaikan perjalanan ini”




“Layar sudah terkembang, sauh sudah diangkat, tak ada jalan untuk berpaling selain menyelesaikan perjalanan ini.”
Ku buka dengan enggan buku jurnal yang selalu menjadi pendamping hidupku selama ini. Ku pegang dengan goyah pulpen bertinta biru yang sudah  lusuh ketinggalan zaman. Dengan gemetar, mulai  kugoreskan kata demi kata yang mungkin akan jadi tulisan terakhir di buku jurnalku. Tak jarang aku berhenti untuk sekadar mengusap hujaman air mata yang jatuh perlahan, meluncur membasahi lembar putihnya. Hanyalah harapan yang membuatku tetap bertahan dengan gemetar, menuliskan pesan terkahirku.


10 Juli 2055 04.00
Jika kau berhasil membaca tulisan ini, itu berarti ada dua kemungkinan . Kemungkinan pertama, aku telah  membusuk di penjara bawah tanah dan tak ada yang menyadari hilangnya aku. Kemungkinan kedua, aku sudah dibunuh  dan lagi-lagi tidak ada yang menyadari aku telah hilang. Namun,  jika kau tahu tentang aku, tolong, lanjutkan perjuanganku. Perjuangan  itu harus tetap dilanjutkan, jika kau ingin kita (baca: umat manusia) selamat.
o0o
            Selamat datang di tahun 2055, di mana teknologi adalah penguasa utama di atas segalanya.  Perkenalkan, namaku Langit. Aku wanita pemilik perusahaan antivirus ternama di dunia di mana tidak ada yang tidak memakai antivirusku. Ini adalah buku jurnalku. Semua perjalananku akan  tersimpan di buku bersampul coklat ini. Mungkin kalian berpikir aku ketinggalan jaman karena masih menulis di atas serat pohon, sementara setiap orang sudah  punya “benda ajaib” yang disebut gadget. Bukannya aku  ketinggalan jaman namun, aku  memang suka menulis dengan tanganku sendiri, merasakan tinta pulpen  biruku tergores di atas kertas, memanggil memori lama ketika “benda ajaib” itu belum  menguasai mereka sepenuhnya. Dan ketahuilah, tidak ada seorang pun yang dapat meng-hack serat pohon itu. Jadi, tidak akan ada yang tahu tentang pemikiran-pemikiran liarku dan jiwa pemberontakku yang meneriakkan keadilan.
6 Juli 2055 pukul 07.00 am
                 Bagus. Hari ini aku terlambat bangun, padahal ada proyek besar yang harus kusepakati dengan perusahaan ternama. Dengan sekali telan, kulahap habis nasi goreng sarapanku. Aku pun mengenakan kostum kebanggaanku, rok panjang bunga-bunga, kemeja putih, serta kerudung merah muda.  Tak biasanya aku berpenampilan manis seperti ini. Kalo bukan karena perjanjian dengan  perusahaan ternama itu aku tak akan menjadi feminin seperti ini. Karena, kata ibuku, kesan pertama adalah yang paling penting. Untuk sentuhan terakhir, aku pun memasang  tangan kiri palsuku. Ya, tangan  palsu. Kurasa aku lupa meyebutkan bahwa aku hanya bertangan satu. Aku kehilangan tangan kiriku  ketika aku masih SMA. Sudahlah, tak usah dibahas, itu hanya akan mebangkitkan memori yang menyakitkan. Intinya, aku  penyandang disabilitas. Namun, terimakasih kepada tangan palsu canggih yang kurancang sendiri ini, aku dapat beraktivitas layaknya orang normal. Setelah tangan palsuku terpasang dengan benar, aku pun menyambar tas jinjingku dan langsung melesat keluar dari apaertemen dengan kecepatan cahaya.
                 Aku pun berlari segesit cheetah, secepat cahaya.  Jarak ke kantor yang baisa kutempuh selama 20 menit berjalan kaki kini dapat kutempuh hanya dengan tujuh menit. Kalian pasti bertanya mengapa aku tidak naik mobil atau motor saja. Percuma. Jalan dengan sepeda motor akan  memakan waktu  satu jam, apalagi mobil. Alasannya adalah karena di jalan raya sudah di penuhi dengan  baja bermesin itu. Macet di mana-mana.  Di mana-mana, engkau akan menemui pemandangan manusia-manusia yang terpaku dengan layar bercahaya  yang disebut gadget itu. Di mana-mana. Bapak-bapak yang sedang berada di tengah kemacetan, anak TK yang akan berangkat sekolah begitu pula dengan  ibunya yang tenggelam dalam chatting grup what’s app. Begitu pula  dengan ribuan manusia lain yang memadati jalanan ini di pagi ini. Pemandangan yang sudah  biasa.   Aku pun sudah terbiasa berlari. Dulu ketika aku di sekolah berasrama, segalanya harus tepat waktu, dan lari adalah satu-satunya solusi.
                 “Langit, cepetan! Kita udah hampir telat nih!” Itu adalah Biru, sabahat karibku sejak aku berada di SMA, teman seperjuangannku di asrama. Kini dia adalah partner di perusahaanku. Aku berlari menghampirinya yang tampaknya sudah menungguku sejak lama, terlihat dari muka kusutnya.
                 “Iya, iya maafin aku. Tadi aku bangun kesiangan.” Kataku meminta maaf
                 “Dasar! Kebiasaan. Kalau kontrak ini gagal, mimpi kita berdua gagal nih!.”
                 “Buktinya ga telat kan? hehehee”
                 Kami pun bergerak memasuki restoran disebelah kantor kami, tempat pertemuan kami dengan perusahaan gadget ternama, yang akan memakai antivirus kami di setiap produknya. Ini adalah mimpi kami selama bertahun-tahun. 
                 “Terimakasih Pak atas kerjasamanya, kami harap perusahaan Bapak tetap menjadi mitra baik kami selama bertahun-tahun ke depan.” Kataku setelah menandatangani perjanjian dengan perusahaannya
                 “Iya, terimakasih kembali Ibu Langit dan Ibu Biru. Kami tunggu produk-produk anda yang lainnya!
                 “Wah tenang saja Pak. Kami pasti akan mengembangkan produk baru.”
                 Perjanjian pun selesai. kami pun beranjak pergi untuk melanjutkan pekerjaan masing-masing.
                 “Aku pergi duluan ya, Langit!” kata Biru denga ceria, seraya melambaikan tangan kepadaku.
                 “Daaah! Hati-hati ya, Biru!” aku pun membalas lambaian tangannya, lantas  berpaling untuk pulang ke rumah. Hari sudah mulai malam. Aku sudah berencana untuk meletakkan kepalaku diatas bantal dan tidur lebih awal. Namun, rencanaku berubah ketika aku mendengar suara.
BRAAAAAK!
                 “AAAAAAAAAAAAA!”
                 Aku menoleh ke arah sumber suara yang mengusik kedamaian itu, dan mendapati sahabat karibku telah tersungkur di aspal, bermandikan cairan merah kental. Aku melihat sebuah mobil berplat merah dengan kecepatan tinggi melesat tak jauh darinya. Biru telah menjadi korban tabrak lari. Aku pun memegang tangannya, aku panik melihat darahnya yang begitu deras mengalir. Lukanya begitu parah, dan aku tak tahu harus melakukan apa. Lantas aku mengeluarkan handphoneku dan memanggil  rumah sakit terdekat. Telepon pertama, maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Konyol sekali, mana mungkin rumah sakit mematikan teleponnya? Percobaan kedua, tetap memanggil nomor telepon rumah sakit yang sama, tiba-tiba handphoneku mati. Padahal aku yakin sekali bahwa aku mengisi penuh batere handphoneku. Ini semua begitu tidak wajar seakan ada yang tidak mau aku menyelamatkan Biru. Hampir putus asa, akhirnya aku meminta tolong orang-orang yang lewat, namun orang-orang itu sibuk dengan layar bercahaya masing-masing. Aku tau mereka melihat Biru bersimbah darah, namun mereka hanya melirik melalui ekor mata mereka dan kemudian melanjutkan keaksyikan mereka dengan dunia mereka sendiri. Tuh kan, kau tidak bisa berharap banyak pada manusia-manusia hamba gadget itu. Kepanikan yang tiada tara memuncak dalam diriku, aku pun melakukan segala macam pertolongan pertama yang aku tahu kepada Biru. Namun tetap saja, darahnya tidak berhenti, lukanya tidak mambaik. Tik tok tik tok, waktu terus berjalan,  dan Biru butuh pertolongan! Aku pun memutuskan untuk berlari ke rumah sakit terdekat dan meninggalkan Biru di sini sementara. Ketika sedang mengambil ancang-ancang, tiba-tiba Biru memegang tanganku dengan lemah.
                 “Bertahanlah Biru, aku akan segera menyelamatkanmu. Dasar keji orang yang menabrakmu, juga orang  yang membiarkanmu di sini sementara mereka asyik dengan gadget mereka!”
                 “Ja..ngan per…gi, Langit. Te.. mani.. aku.”
                 “Tapi aku harus mencari pertolongan untukmu, Biru.”
                 “Ja.. ngan.. te.. ma.. ni.. aaa..ku.. di saat.. terakhirku.”
                 Air mataku mulai menetes. Aku marah, aku sedih, aku merasa tak berguna. Aku pun memegang tangan Biru.  Aku mengabulkan permintaannya untuk tinggal. Aku menemaninya selama dia mau. Dan aku tak pernah menyangka bahwa itulah saat terkahir aku bertemu dengan Biru, sahabat karibku itu. Dan tanpa Biru, Langit hanya akan menjadi sendu.
***
                 “ARRGGH! Tolong!”
                 Aku menjerit sekuat tenaga. Cairan merah kental mulai mengucur dari lengan kiriku, begitu deras. Mataku sudah bengkak karena menangis hebat. Lengan kiriku tertimpa beton bangunan, Aku berteriak minta tolong sekali lagi. No response. Yang paling parah, teman-temanku duduk di depanku, tak berkutik. Telinga mereka tersumpal oleh headset, kepala mereka terpaku pada laptop yang mereka pegang, mata mereka tertutup oleh layar laptop masing-masing. ketiga kalinya, aku mencoba berteriak. Namun teteap saja, No response. aku lemas, aku pasrah. Aku merasa itu adalah hari terkahirku di dunia.
                 Aku  terbangun.  Aku mimpi buruk lagi. Mimpi yang selalu menghantui aku sejak di sekolah menengah. Hari ini tanggal 9 Juli 2055, pukul 02.00.  Aku memutuskan untuk tidak tidur lagi. Sebenarnya, mimpi itulah asal usul mengapa aku bertangan satu. Tanganku tak sengaja kejatuhan beton bangunan. Tanganku berdarah hebat. Aku panik. Dan bagian terbaiknya, teman-temanku sibuk dengan laptopnya masing-masing tidak peduli dengan apa yang terjadi padaku. Gadget itu telah menutup mata dan hati mereka. Itu adalah saat-saat terburuk yang pernah kurasakan, marah, sakit, sedih dan putus asa dalam satu waktu. Di puncak keputusasaanku, seseorang  datang dan mengangkat beton bangunan itu dengan alat-alat yang ada, kemudian ia menggendongku dan membawaku ke rumah sakit. Kabar baiknya aku masih ada di dunia ini. Kabar buruknya, aku harus kehilangan tangan kiriku. Teman-temanku yang membiarkanku bersimbah darah dihukum oleh guru asramaku. Aku bersyukur sekali masih bisa hidup walaupun harus kehilangan tangan kiriku. Aku berterimakasih  sangat pada orang yang telah menyelamatkanku itu. dan baru akhir-akhir ini aku mengetahui bahwa orang yang menyelamatkanku adalah Biru.
                 Aku benar-benar tidak bisa tidur, memikirkan Biru.  Memikirkan tangan kiriku, memikirkan betapa apatisnya orang-orang di dunia ini, yang asyik dengan dunia fana masing-masing, serta betapa banyaknya korban akibat mereka yang apatis. Kemudian aku teringat, Biru memberikan padaku sebuah flashdisk di saat-saat terakhir menjelang kematiannya. Penasaran, aku menambil laptop Biru dan  menyalakannya dan menancapkan flashdisk itu. Flashdisk itu hanya bisa dibuka di laptop milik Biru. Isinya hanyalah folder-folder drama korea kesukaannya. Aku membuka satu folder yang berjudul blue sky. Aku merasa asing. Rasanya aku tak pernah tahu ada drama berjudul blue sky. Aku membukanya, dan benar.  Ada sebuh file word, aku membukanya dan membacanya. Aku tertegun. Isinya benar-benar tak terduga. Isinya berupa tabel-tabel dan angka-angka yang fantastis jumlahnya. Aku juga melihat sebuah rancangan cip dengan rumus-rumus yang tidak ku mengerti. Ada pula jutaan nama-nama yang asing, Namun, setelah kuteliti kembali aku mengenali mereka, yaitu pejabat-pejabat tinggi negeri ini. Kemudian aku juga menemukan sebuah file lagi. Ini adalah tulisan Biru.
                 Hai Langit? Aku tau pada saatnya kau akan membaca surat ini. Dan ketika itu terjadi, itu berarti aku sudah menghilang. Aku ingin kau membaca surat ini baik-baik dan melanjutkan apa yang kulakukan. Jangan jadikan negeri ini, negeri kampung halaman kita ini menjadi Nekropolis, negeri yang mati.
Ini adalah alasan mengapa tangan kirimu hilang, tentang mengapa mereka kini apatis, sibuk di dunia mereka sendiri yang tak nyata, mengapa telinga mereka selalu tersumbat earphone dan headphone, mengapa mata mereka betah terpaku pada layar bercahaya, dan mengapa mereka sudah kehilangan hati nurani mereka. Ternyata, ini adalah kondisi yang diharapkan oleh mereka yang mengaku tinggi, mengaku bijak, yaitu penguasa negeri ini. kau sudah melihat file satunya kan? File yang penuh dengan angka-angka tidak jelas dan juga blueprint cip, dan nama-nama yang tak asing itu? Itu adalah rencana mereka yang sudah mereka bangun sejak dulu, menggadaikan kepercayaan kita dengan uang. Uang yang mereka pergunakan untuk memberi makan perut mereka yang sudah buncit. Cip yang kau lihat itu adalah awal di mana semua ini berasal. Tentu kita beruda heran mengapa orang-orang yang mengaku bijak itu membuat gadget kita masing-masing sebagai pengganti kartu tanda pengenal? Bahkan memberi subsisidi ponsel untuk seluruh masyarakat. Ternayata mereka menanamkan cip tersebut di setiap ponsel yang kita punya dan memulai mencuci otak kita. Aku telah meneliti cip tersebut sejak tiga tahun lalu dan mendapatkan hasil bahwa memang benar adanya cip tersebut dapat memancarkan gelombang yang membuat kita ketagihan pada gadget, sehingga mata kita tertutup, telinga kita  tersumpal. Terlebih lagi, mereka dapat mengetauhi apa yang sedang kita lakukan, di mana kita berada, dan apa yang kita bicarakan. Menyeramkan. Lantas mengapa mereka melakukan ini? Ah tentu saja untuk memberi makan perut mereka yang buncit. Alasannya klise, agar hanya keturunan mereka yang menjadi petinggi, agar hanya mereka yang menguasai minyak di bawah kaki kita, agar mereka yang dapat menguasai kayu-kayu dipenjuru hutan, agar mereka bisa berkuasa selamanya, dan kenyang selamanya. Sementara kita hanya fokus pada gadget kita masing-masing dan tidak peduli terhadap kekacuan di pelupuk mata mereka, tidak peduli hanya makan kerupuk dan nasi, yang penting gadget masih bisa nyala. Menakutkan bukan? Sungguh para tirani itu begitu keji. Sudah banyak yang tahu dan menetang. Namun, selalu saja mereka hilang tanpa jejak, entah hilang kemana Mungkin aku kan menjadi salah satunya. Oleh karena itu, kau harus menghentikannya, atau negeri ini akan menjadi Nekropolis, negeri yang mati.
                 Ada sebuah video, aku membukanya, aku kaget. Isinya adalah percakapan antara presiden negeri ini dan pejabat tinggi negara lain tentang cip itu dan rencana mereka. Sedikit kurang, beginilah isinya
                 “Hahahaha! Dengan membungkam mereka, mereka tidak akan peduli atas apa yang kita lakukan, hahha! Tujuh milyar triliyun dolar akan ada dikantung kita dan akan menghidupi keturunan kita. Hanya keturunan kita.”
                 “Benar sekali pak presiden, ide ada sangat cemerlang. Mereka asti akan sibuk dengan gadget mereka masing-masing. ”
                 Aku menangis. Aku marah. Merasa bersalah karena selama ini membiarkan Biru berjuang sendiri melakukan semua ini, dan berakhir tragis. Aku baru ingat, mobil tabrak lari yang menabraknya beplat merah artinya, ia adalah pejabat tinggi. Dan aku teringat ponselku tak bisa kugunakan untuk menelepon rumah sakit. Aku baru menyadari keganjilan itu rupanya mereka juga mengendalikan ponselku agar aku tak dapat menelepon rumah sakit. Mereka benar-benar bisa mengendalikan segalanya. Aku benar-benar marah pada meraka, pejabat tinggi tirani.
                 Aku tidak ingin semakin banyak orang menjadi korban cuci otak para tirani itu. Menjadi budak mereka seumur hidup. Aku tak akan membiarkan Biru meninggal dengan sia-sia. Aku tak akan membiarkan lengan kiriku hilang begitu saja. Aku akan menjadi pemantik api yang akan menyebabkan kebakaran hebat. Aku pun melakukan apa yang harus aku lakukan. Aku mulai bekerja., tidak akan tidur malam ini
***
10 Juli 2055, pukul 07.00
                 Pagi ini aku menulis di jurnal coklatku, aku begitu menikmati goresan tinta biru di atas kertas putih buku jurnalku. Pagi ini aku menulis lagi. Namun, firasatku mengatakan bahwa ini akan menjadi saat terkahirku untuk menulis di buku jurnalku.
                 Aku  melakukan hal yang gila. Ini adalah waktu tersibuk selama sehari, di mana orang-orang sedang berangkat kerja. Maka aku pun meretas televise billboard yang menjadi pusat iklan di tengah kota. Kemudian, dengan sekali pencet, aku memasukkan video para tirani itu di ke televise billboard. Dan tak ada yang dapat menghentikannya kecuali aku sendiri. Dalam waktu sekejap, negeri itu gempar. Dan dalam satu kedipan mata, pintu apartemenku didobrak, dan orang-orang berseragam hitam masuk paksa ke kamarku
            Aku tahu benar risiko ini. Sebelum mereka datang, aku sudah berlari melalui pintu belakang. Lari melewati tangga keluar menuju jalan raya, lari ke mana pun aku bisa. Jantungku berdebar-debar hebat. Untungnya aku adalah pelari ulung. Sekolah berasramaku telah mendidikku menjadi pelari secepat kilat. Jantungku bedebar-debar, kakiku serasa melayang karena cepatnya aku berlari, aku terus berlari, berlari dan berlari menjauh dari mereka. Tak terasa aku kini telah berada di jalan yang sepi. Aku sendiri bahkan tak mengenali jalan itu. Aku menegok ke belakang. Tidak ada mereka. Sepi, kosong, hampa. Aku bisa bernafas lega, akhirnya aku bisa melarikan diri dari mereka. Mungkin aku akan hidup lebih lama. Aku pun  tetap berlari, entah mengapa, aku ingin berlari. aku berlari berlari dan berlari terus hingga aku sampai pada sebuah lapangan yang luas sekali. Aku berlari lagi. Tiba-tiba aku tersandung, padahal tidak ada apapun. Aku terjatuh, tersungkur mencium rumput. Aku menolehkan kepalaku ke atas, tampak di pandangan mataku sebuah papan. Papan itu bertuliskan PENJARA. Bagaimana bisa aku ke kandang harimau? Bagus, di kejauhan tiba-tiba aku juga melihat si seragam hitam. Dengan sigap ia lari ke arahku dan  mencengkram lengan kiri palsuku. Dan ajaib, badanku kaku, aku tak bisa bergerak. Tamatlah riwayatku.
            Aku baru mengetahui, ternyata negeri ini sudah parah stadium 4, karena para tirani itu tak hanya mencuci otak kami, bahkan dapat mengendalikan kami pula. Seperti aku yang tiba-tiba berlari langsug ke arah kandang harimau, sementara aku tak sadar aku lari ke mana. Dan aku sekarang berdiri di hadapan presiden negeri ini. Aku telah dikendalikan oleh mereka. Dan di hadapanku, berdiri tirani kejam itu, Presiden.
“Kenapa bapak begitu kejam! Hentikan semua ini, karena cepat atau lambat negeri ini akan menjadi negeri mati.” Aku berteriak geram kepadanya
“Diam kau anak muda. Seharusnya kau tak usah melakukan hal gila begini. Coba kalo kau diam saja, mungkin kau sekarang sedang asyik bermain tab di atas sofa di apartemenmu. Sudahlah, tak ada yang bisa mengalahkanku. Tak ada yang bisa menghentikanku untuk mengeksploitasi kalian dan negeri ini. Aku tau halangan terbesarku adalah rakyat-rakyatku sendiri. Maka ku cuci saja otak mereka biar nurut hahahaa! Tak ada yang bisa menghentikanku! Hahahaa!”
Aku kemudian diseret ke sebuah tempat yang luas. Aku tahu hidupku tak lama lagi. Mataku ditutup oleh kain hitam. Aku bodoh, seharusnya aku menyusun rencana lebih matang lagi. Tanganku diikat dengan tali yang begitu kencang. Jantungku berdegup dengan kencang.
DOR!
Aku merasakan sesuatu menghujam jantungku. Aku meraskan panas sekujur tubuhku. Aku tahu darahku mengalir hebat. Aku pun tersungkur, megap-megap tak bisa nafas. Sebuah peluru menghujam jantungku. Jadi, inilah akhir hayatku?

Walaupun ini akhir hayatku, paling tidak aku sudah memantik api. Kata-kata yang diucapkan presiden gila itu sudah ku rekam dengan tangan palsu canggihku ini dan langsung terkirim ke seluruh masyarakat yang sudah pasti memakai antivirusku.  Itu akan terputar berulang-ulang kali di gadget mereka. Aku harap, tergugah hatinya dan mereka terbakar sehingga menyebabkan kebakaran hebat, membakar para tirani itu. Biarpun aku mati, setidaknya negeri ini tak akan menjadi Nekropolis, negeri yang mati, karena perjuangan baru saja dimulai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar