Senin, 22 Februari 2016

Cerpen_Disayat Ribuan Pisau

Disayat Ribuan Pisau

Oleh Muchamad Ilham
“I am strong because I’ve been weak,
I am fearless because I’ve been afraid,
I am wise because I’ve been foolish”


Malam ini adalah malam yang paling indah. Langit cerah berhiaskan bintang gemintang. Bulan menyabit angkasa di antara jutaan bintang. Satu-dua awan tipis melintas perlahan. Hembusan angin merambat membelai setiap helai daun yang ia lewati. Membawa butir-butir uap air yang menyejukkan. Ini awal musim hujan. Baru saja, tangisan awan mengguyur tempat ini tanpa ampun. Menguapkan bau tanah kering yang tersiram air hujan. Memberi semangat bagi pohon-pohon untuk hidup. Mengirimkan pesan kepada burung untuk segera bermigrasi. Memberi salam kepada petani untuk kembali terjun ke sawah. Dan mengundang banjir untuk menyapa.


Oh hujan. Nikmat Allah yang selalu aku kagumi. Tiap tetesnya yang turun dari langit membawa sejuta kehidupan bagi makhluk ciptaan-Nya. Pada setiap tetesnya terdapat kesucian alam yang menyegarkan. Hujan mengajariku banyak hal. Mengajariku tentang kerjasama dan kebersamaan melalui cara mereka terjun secara serempak dan bersama-sama. Mengajariku tentang usaha keras melalui keuletan tiap tetesnya dalam mengikis kuatnya batu. Mengajariku bahwa selama hidup kita harus banyak memberi karena hujan selalu memberi kebaikan bagi umat-umat-Nya yang bertakwa. Hujan juga mengajariku bagaimana ia patuh dan qanaah kepada sunnatullah.
Baru sejak aku mengagumi indahnya bumi Allah ini, terdengar suara Ojan–teman sekamarku–,  berteriak memanggilku.
“Dimas! Dimas!” pekiknya sambil berlari ke balkon tempat biasa aku menadaburi ciptaan-Nya.
“Ya, ada apa Jan?” sahutku penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Aku mencium bau masalah yang akan menghinggapiku.
“Dim, kamu dipanggil Kepala Asrama Maroko di ruangannya sekarang Dim!”
“O iya, aku akan segera ke sana. Makasih udah dikasih tahu.”
o0o
Fajar itu matahari masih setia terbit dari ufuk timur. Segerombol burung kutilang bertasbih menyambut sang mentari. Pohon-pohon pun ikut bertasbih. Seluruh ciptaan-Nya bertasbih kepada-Nya. Semburat cahaya jingga menelisik setiap sudut dengan lembut. Beberapa gumpal awan menambah elok fajar itu. Di ufuk barat terlihat bayangan bulan yang masih menyabit langit. Kabut tipis membungkus sekolahku. Tetes-tetes embun menggelayuti ujung-ujung rumput dengan manja. Para santri yang baru keluar dari masjid dibuat ternganga kemudian mereka bertasbih mengagumi kuasa Allah SWT. Fajar yang memukau.
MasyaAllah!” gumamku diikuti semua santri.
Para santri segera pergi ke kantin untuk menyantap hidangan sarapan pagi. Beberapa di antara mereka memilih pergi ke asrama untuk bersih diri. Aku sendiri sedang puasa sunah, tapi aku ingin bertemu dengan guruku untuk membicarakan perizinanku untuk ikut lomba besok. Di perjalanan, aku satu-dua kali bertemu dengan adik kelas. Mereka memberi salam padaku, aku menjawabnya dengan senyum tulus mengembang. Entah apa yang terjadi pada diriku pagi ini. Sepertin ada energi positif yang merasuki diriku.
Aku sudah tiba di depan pintu ruangan beliau. Sudah dua kali aku mengetuk pintu yang terbuat dari kayu jati yang langsung didatangkan dari Jepara dan diukir dengan sangat sempurna. Ini untuk ketiga kalinya aku menegtuk pintu itu. Tak terdengar suara dari dalam. Apakah beliau tidak ada di ruangan? Aku memutuskan untuk menunggu sejenak. Tak lama pintu pun berdecit pelan. Ada seseorang yang membuka pintu itu. Beliaulah Ustadz Taufiq. Ustadz muda yang menjadi pembimbing saya dalam musabaqoh tilawatil quran[1]. Suara beliau saat melantunkan ayat suci AlQuran begitu indah dan merdu. Beliau adalah lulusan terbaik Al-Azhar University, Kairo. Beliau juga lulusan Pondok Modern Gontor. Beliau mengajariku kedisiplinan, ketekunan, kerja keras, dan kekuatan doa.
“Assalamualaikum Ustadz.” sapaku hangat.
“Waalaikumussalam Dimas. Ada apa pagi-pagi begini sudah datang?”
“Ini Ustadz, saya mau tanya, apa surat izin saya sudah diurus atau belum?”
“O iya, saya hampir lupa. Besok kamu ada lomba ya? Nanti insyaAllah akan saya urus ke Kepala Asrama kamu.”
“Baiklah, terima kasih Ustadz. Maaf mengganggu waktunya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam Dimas.”
Setelah berpamitan, saya segera kembali ke asrama. Hari ini akan menjadi hari yang bahagia. Ini semua karena hawa positif itu yang selalu membuntutiku di mana pun aku berada. Ini pertanda baikkah atau buruk? Aku masih bertanya-tanya.
o0o
Bel istirahat pertama melengking-lengking dari speaker di dalam kelas. Semua santri berhamburan keluar kelas menuju kantin setelah Ustadzah Poeji, guru biologi mengakhiri kelas. Hanya tersisa beberapa santriwan dan santriwati yang sedang menjalankan puasa sunah. Tiba-tiba Rama dan Andhika menghampiriku yang sedang berkutat dengan buku yang sedang aku baca.
“Dim, ke saung yuk! Ane yang traktir dah.” ajak Rama.
“Maaf Ram. Aku nggak bisa.” sahutku.
“O, lagi puasa sunah Dim? Ya sudahlah lain kali aja.” tambah Andhika.
“Maaf banget aku nggak bisa memenuhi permintaan kalian. Tapi aku pengen ikut sekalian jalan ke perpustakaan.”
“Yuk.”
Waktu istirahat terasa begitu lama. Aku sudah tenggelam dalam buku Api Tauhid karangan Habibirrahman El-Shirazy. Sudah lima sub-bab aku libas habis.
o0o
Namanya Rahma. Santriwati berdarah sunda yang menjadi bahan pembicaraan para santriwan karena dia begitu sempurna. Dia cantik, memiliki dua lesung pipi yang akan melelehkan lawan bicaranya. Dia juga cerdas. Dia pernah meraih medali emas dalam ajang Olimpiade Sains Nasional bidang Kimia. Dia juga sangat baik hati. Itulah rumor yang sedang hangat menerpa santri pondok. Terutama santriwannya. Aku sendiri belum pernah bicara dengannya. Pertama kita tidak satu kelas. Dan yang kedua dia perempuan, aku sangat jarang berbincang dengan lawan jenis. Kalau berbicara dengan lawan jenis hanya seperlunya saja. Dan aku tidak ingin akan ada fitnah yang menyebar jika aku terlalu sering berbicara dengan akhwat[2]. Karena sudah banyak kasus yang menyeret santri karena hubungan yang hanya akan mengarahkan kepada maksiat itu.
Rahma sedang duduk di dalam kelas. Ia memainkan pulpennya. Ia sedang memikirkan sesuatu. Tepatnya merencanakan sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya menohok hatinya sendiri. Sebuah rencana yang justru hanya akan menyakitinya jika itu gagal. Bukan hanya dia yang akan sakit. Orang lain juga akan merasakannya. Tapi ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Perempuan jelita itu harus melakukan ini agar dia tidak selalu dihantui oleh bayang-bayang seseorang yang sangat ia kagumi. Yang mungkin juga ia cintai sepenuh hati. Dialah Dimas.
Rahma berpikir sejenak. Ia ingin menulis surat untuk Dimas. Ini memang cara klasik. Klasik sekali bahkan. Tapi ia tidak bisa menemukan cara lain untuk memberitahu hal yang mengganjal di hatinya itu. Kemudian huruf demi huruf ia ukir dengan sangat hati-hati di atas kertas berwarna krem yang sudah diberi minyak wangi. Di akhir suratnya, ia menuliskan satu bait puisi yang indah.
Kekagumanku kepadamu ini mungkin hanyalah kekaguman biasa
Tidak sebesar kekagumanmu dan kekagumanku pada-Nya
Tidak seindah suaramu saat melantunkan firman-firman-Nya
Entah ini hanya rasa kagum atau bahkan cinta, aku pun tidak tahu
Setelah selesai, ia menambahkan satu kalimat permohonan. ‘Jika kamu memiliki rasa yang sama kepadaku balaslah surat ini, jika tidak maka buanglah surat ini jauh-jauh dan jangan pernah membalasnya’ lalu ia melipat surat itu dan ia masukkan ke dalam amplop biru. Lalu Rahma segera menuju kelas Dimas. Kebetulan sekali Dimas tidak ada. Dan santri yang berada di dalam kelas sedang terlelap. Ia segera memasukkan surat itu ke dalam tas Dimas. Sebenarnya ia tidak yakin itu tasnya atau bukan. Yang jelas, ia sering memerhatikan Dimas menggunakan tas berwarna abu-abu itu. Dengan cepat ia menyelipkan surat itu dan segera meninggalkan kelas sebelum teman-teman Dimas bangun atau bahkan Dimas kembali.
o0o
Selepas Isya, seperti biasa aku memperbanyak latihanku dengan Ustadz Taufiq mengingat aku akan maju ke tingkat provinsi besok. Aku melantunkan Surat Lukman ayat 1-10 dengan hati-hati. Setelah itu, Ustadz Taufiq yang akan mengomentari bacaanku. Panjang pendeknya, tinggi rendahnya nada yang aku ambil, dan pemilihan lagu. Setelah aku kira cukup, aku pulang kembali ke asrama bersama Ustadz Taufiq.
“Ustadz, apakah ada doa untuk menghindari godaan kaum hawa?” tanyaku tiba-tiba saat kami sedang berjalan beriringan menuju asrama.
“Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu? Sedang jatuh hati ya?” gurau Ustadz muda itu. Aku sendiri tidak sadar. Kalimat itu tiba-tiba meluncur saja dari mulutku.
“Bukan begitu Ustadz, saya hanya ingin tahu supaya saat hidup di masyarakat nanti saya tidak mudah tergoda oleh mereka. Kan di luar katanya pergaulannya begitu bebas. Berbeda dengan di pondok ini yang semuanya homogen.” jawabku mencoba untuk rasional.
“O begitu, dulu saya pernah diajari ustadz saya waktu di Gontor. Doanya seperti ini. A’udzubillahi minal fitnati nisa[3].
A’udzubillahi minal fitnati nisa” aku mengulangi doa tersebut.
o0o
Malam telah menunjuk pukul sepuluh. Beberapa santri sudah terlelap. Angin malam bertiup lembut. Bulan menyabit langit di antara ribuan bintang. Satu-dua awan tipis melintas menutupi sinar bulan. Malam itu begitu damai. Suara jangkrik memecah keheningan malam. Tak kalah suara dengkuran-dengkuran para pencari ilmu.
Aku sedang memersiapkan barang-barang yang akan aku bawa besok pagi. Aku segera mengeluarkan isi tas yang aku akan aku pakai. Tiba-tiba sepucuk surat aku temukan di dalam tas. Surat itu dibalut amplop biru yang indah dan lembut. Bau minyak wangi perempuan segera menyerbu penciumanku. Astaghfirullah! Pelan-pelan aku membuka amplop itu. Dengan hati-hati aku membentangkan surat itu dan membacanya dengan teliti. Setelah membaca surat itu aku memohon ampun kepada Allah. Astaghfirullah!
Pada bagian akhir surat itu tertulis ‘Jika kamu memiliki rasa yang sama kepadaku balaslah surat ini, jika tidak maka buanglah surat ini jauh-jauh dan jangan pernah membalasnya’ jantungku berdegup kencang membaca kalimat itu. Aku bingung. Aku tak ingin membalasnya, tapi aku tak ingin membuatnya sakit hati. Aku harus bagaimana? Akhirnya aku memilih untuk membalasnya saja. Kupilih kata-kata yang sekiranya sopan dan tidak menyinggung perasaan tapi bisa menyampaikan maksud yang ingin aku ungkapkan kepadanya. Setelah selesai kumasukkan suratku ke dalam amplop biru bersama surat miliknya. Kemudian aku menitipkannya kepada Ojan karena dia satu kelas dengan Rahma.
Pagi-pagi aku harus segera berangkat ke Surabaya untuk mengikuti musabaqah tilawatil quran yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Ternyata Ustadz Taufiq telah menungguku di depan asrama dengan mobilnya. Kami segera berangkat ke Surabaya. Aku tidak mau telat dalam ajang sepenting ini. Dan aku harus membawa pulang kemenangan. Harus.
o0o
Dengan napas yang tersengal-sengal aku berlari ke ruangan Ustadz Lukman. Setibanya di sana, ternyata sudah ada banyak orang yang memenuhi ruangan. Ustadz Lukman sendiri sedang berdiri memandangiku yang baru saja masuk dengan wajah yang tersungut-sungut. Beliau marah besar. Seketika semua orang di ruangan itu menatapku tajam. Ada Ustadzah Poeji, Ustadz Fahri, bahkan ada Rahma dan dua temannya. Aku masih bingung apa yang sedang terjadi di sini? Tak berapa lama Ustadz Taufiq masuk ruangan. Rasa tegang terasa merasuk ke seluruh tulang-tulanngku.
“Dimas, kamu tahu kenapa kamu saya panggil ke sini?” tanya Ustadz Lukman ketus.
Afwan[4] Ustadz, saya tidak tahu. Saya sendiri bingung kenapa saya dipanggil dan kenapa Ustadzah Poeji, Ustadz Fahri, dan Rahma ada di sini? Apa ada kaitannya dengan mereka?”
“Begini Dimas, sebenarnya saya juga tidak menyangka kamu berani melakukan ini.”
“Melakukan apa Ustadz?”
“Tolong jangan memotong orang yang sedang berbicara!” Ustadz Lukman semakin naik pitam.
Semuanya terdiam. Belum pernah Ustadz Lukman marah seperti ini. Beliau terkenal sangat penyabar menghadapi santri-santri yang membuat onar. Apa masalah besar yang sedang menimpaku sehingga Ustadz Lukman sebegitu marah kepadaku?
“Dimas, kamu telah melanggar tata tertib santri tingkat lima. Pelanggaran ini belum pernah dilakukan oleh santri sebelumnya dan kau melanggarnya Dimas! Saya tidak menyangka kamu melakukan ini. Saya tahu kamu santri yang pandai dan kamu memiliki potensi yang besar. Saya benar-benar tidak menyangka Dimas. Dan kau tahu Dimas apa hukuman bagi santri yang melanggar tata tertib santri tingkat lima? Santri akan dikeluarkan Dimas! Astaghfirullah.” tutur Ustadz Lukman.
“Tapi saya tidak melakukan sesuatu yang melanggar tata tertib santri Ustadz.”
“Masih tidak mau mengaku ternyata. Ngaku saja Dimas! Semuanya sudah jelas.” tambah Ustadzah Poeji.
“Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Saya sama sekali tidak mengerti.” jelasku.
“Kamu telah berkhalwat dengan Rahma kemarin.” kata Ustadz Lukman.
Astaghfirullah! Bagaimana bisa saya berkhalwat dengan Rahma Ustadz? Kan saya kemarin mengikuti musabaqah tilawatil quran di Surabaya bersama Ustadz Taufiq. Bagaaimana mungkin saya bisa berada pada dua tempat yang berbeda dalam waktu yang sama. Maaf, sebagai orang yang berilmu seharusnya Ustadz bertabayyun[5] terlebih dahulu berita tersebut benar atau tidak. Dan masalahnya rumor yang tersebar ini sungguh tidak rasional.” jelasku tersungut-sungut.
“Benar Ustadz, Dimas kemarin bersama saya ke Surabaya. Tidak mungkin dia berada di tempat yang berbeda dalam waktu yang sama. Ini sungguh tidak rasional. Mungkin ada baiknya kita mendengar penjelasan dari Rahma dahulu Ustadz.” lanjut Ustadz Taufiq.
“Rahma, kamu harus bisa menjelaskan kejadian ini! Jelas-jelas aku tidak pernah bersamamu. Bicara saja kita tidak pernah. Kamu harus jelaskan apa yang terjadi sebenarnya.” kataku.
Rahma hanya tertunduk malu. Hatinya bergetar. Air matanya mulai menetes menyisir pipinya. Dia mulai terisak. Sejenak kemudian mulutnya terbuka, sepertinya ia ingin angkat bicara dan menjelaskan kejadian ini.
“Sebenarnya Dimas tidak salah apa-apa Ustadz. Saya hanya merasa sakit hati kepadanya. Dia menolak perasaan saya kepadanya melalui surat. Padahal saya sudah memintanya kalau tidak bisa menerima tidak usah dibalas. Tapi Dimas membalas surat itu dan menyatakan ketidak bersediaannya untuk menerima perasaan saya. Saya merasa dipermainkan Ustadz.” jelas Rahma terisak.
Semuanya diam. Hanya isakan Rahma yang terdengar. Aku menelan ludah. Aku telah menyakiti hati seorang gadis. Bukan gadis biasa, tapi gadis yang memang sempurna di mata teman-temanku bahkan di mataku. Tapi aku tidak bisa menerimanya sekarang. Waktunya tidak tepat. Kenapa jadi serba salah begini?
Akhirnya, Ustadz Lukman menyudahi masalah ini sebelum santri lain mengetahui. Aku juga tidak mau banyak hati yang akan tersakiti karena masalah ini. Aku dan Rahma pun kembali seperti biasa tidak saling bicara. Mungkin kejadian di ruang Kepala Asrama tempo hari merupakan pembicaraanku dengan Rahma untuk yang pertama dan terakhir. Sekarang Rahma menjadi sosok yang lebih tertutup. Aku kasihan melihatnya. Hatiku sendiri seperti tersayat ribuan pisau. Sungguh aku ingin bicara dengannya lagi dan melihat senyum indahnya.




[1] Lomba membaca AlQuran
[2] Panggilan untuk teman atau santri perempuan
[3] Aku berlindung kepada Allah dari fitnah perempuan
[4] Maaf
[5] Mencari kebenaran dari sebuah berita yang disampaikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar