Disayat Ribuan Pisau
“I am strong because I’ve been weak,
I am fearless because I’ve been afraid,
I am wise because I’ve been foolish”
Malam ini adalah malam yang paling indah. Langit
cerah berhiaskan bintang gemintang. Bulan menyabit angkasa di antara jutaan
bintang. Satu-dua awan tipis melintas perlahan. Hembusan angin merambat
membelai setiap helai daun yang ia lewati. Membawa butir-butir uap air yang
menyejukkan. Ini awal musim hujan. Baru saja, tangisan awan mengguyur tempat ini
tanpa ampun. Menguapkan bau tanah kering yang tersiram air hujan. Memberi
semangat bagi pohon-pohon untuk hidup. Mengirimkan pesan kepada burung untuk
segera bermigrasi. Memberi salam kepada petani untuk kembali terjun ke sawah.
Dan mengundang banjir untuk menyapa.
Oh hujan. Nikmat Allah yang selalu aku kagumi.
Tiap tetesnya yang turun dari langit membawa sejuta kehidupan bagi makhluk
ciptaan-Nya. Pada setiap tetesnya terdapat kesucian alam yang menyegarkan.
Hujan mengajariku banyak hal. Mengajariku tentang kerjasama dan kebersamaan
melalui cara mereka terjun secara serempak dan bersama-sama. Mengajariku
tentang usaha keras melalui keuletan tiap tetesnya dalam mengikis kuatnya batu.
Mengajariku bahwa selama hidup kita harus banyak memberi karena hujan selalu
memberi kebaikan bagi umat-umat-Nya yang bertakwa. Hujan juga mengajariku
bagaimana ia patuh dan qanaah kepada sunnatullah.
Baru sejak aku mengagumi indahnya bumi Allah
ini, terdengar suara Ojan–teman sekamarku–, berteriak memanggilku.
“Dimas! Dimas!” pekiknya sambil berlari ke
balkon tempat biasa aku menadaburi ciptaan-Nya.
“Ya, ada apa Jan?” sahutku penasaran dengan apa
yang sedang terjadi. Aku mencium bau masalah yang akan menghinggapiku.
“Dim, kamu dipanggil Kepala Asrama Maroko di
ruangannya sekarang Dim!”
“O iya, aku akan segera ke sana. Makasih udah
dikasih tahu.”
o0o
Fajar itu matahari masih setia terbit dari ufuk
timur. Segerombol burung kutilang bertasbih menyambut sang mentari. Pohon-pohon
pun ikut bertasbih. Seluruh ciptaan-Nya bertasbih kepada-Nya. Semburat cahaya
jingga menelisik setiap sudut dengan lembut. Beberapa gumpal awan menambah elok
fajar itu. Di ufuk barat terlihat bayangan bulan yang masih menyabit langit.
Kabut tipis membungkus sekolahku. Tetes-tetes embun menggelayuti ujung-ujung
rumput dengan manja. Para santri yang baru keluar dari masjid dibuat ternganga
kemudian mereka bertasbih mengagumi kuasa Allah SWT. Fajar yang memukau.
“MasyaAllah!” gumamku diikuti semua santri.
Para santri segera pergi ke kantin untuk
menyantap hidangan sarapan pagi. Beberapa di antara mereka memilih pergi ke
asrama untuk bersih diri. Aku sendiri sedang puasa sunah, tapi aku ingin
bertemu dengan guruku untuk membicarakan perizinanku untuk ikut lomba besok. Di
perjalanan, aku satu-dua kali bertemu dengan adik kelas. Mereka memberi salam
padaku, aku menjawabnya dengan senyum tulus mengembang. Entah apa yang terjadi
pada diriku pagi ini. Sepertin ada energi positif yang merasuki diriku.
Aku sudah tiba di depan pintu ruangan beliau.
Sudah dua kali aku mengetuk pintu yang terbuat dari kayu jati yang langsung
didatangkan dari Jepara dan diukir dengan sangat sempurna. Ini untuk ketiga
kalinya aku menegtuk pintu itu. Tak terdengar suara dari dalam. Apakah beliau
tidak ada di ruangan? Aku memutuskan untuk menunggu sejenak. Tak lama pintu pun
berdecit pelan. Ada seseorang yang membuka pintu itu. Beliaulah Ustadz Taufiq.
Ustadz muda yang menjadi pembimbing saya dalam musabaqoh tilawatil quran[1]. Suara beliau saat melantunkan ayat suci AlQuran
begitu indah dan merdu. Beliau adalah lulusan terbaik Al-Azhar University, Kairo.
Beliau juga lulusan Pondok Modern Gontor. Beliau mengajariku kedisiplinan,
ketekunan, kerja keras, dan kekuatan doa.
“Assalamualaikum Ustadz.” sapaku hangat.
“Waalaikumussalam Dimas. Ada apa pagi-pagi
begini sudah datang?”
“Ini Ustadz, saya mau tanya, apa surat izin saya
sudah diurus atau belum?”
“O iya, saya hampir lupa. Besok kamu ada lomba
ya? Nanti insyaAllah akan saya urus ke Kepala Asrama kamu.”
“Baiklah, terima kasih Ustadz. Maaf mengganggu
waktunya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam Dimas.”
Setelah berpamitan, saya segera kembali ke
asrama. Hari ini akan menjadi hari yang bahagia. Ini semua karena hawa positif itu yang
selalu membuntutiku di mana pun aku berada. Ini pertanda baikkah atau buruk? Aku masih bertanya-tanya.
o0o
Bel istirahat pertama melengking-lengking dari speaker di dalam kelas. Semua santri
berhamburan keluar kelas menuju kantin setelah Ustadzah Poeji, guru biologi
mengakhiri kelas. Hanya tersisa beberapa santriwan dan santriwati yang sedang
menjalankan puasa sunah. Tiba-tiba Rama dan Andhika menghampiriku yang sedang
berkutat dengan buku yang sedang aku baca.
“Dim, ke saung yuk! Ane yang traktir dah.” ajak
Rama.
“Maaf Ram. Aku nggak bisa.” sahutku.
“O, lagi puasa sunah Dim? Ya sudahlah lain kali
aja.” tambah Andhika.
“Maaf banget aku nggak bisa memenuhi permintaan
kalian. Tapi aku pengen ikut sekalian jalan ke perpustakaan.”
“Yuk.”
Waktu istirahat terasa begitu lama. Aku sudah
tenggelam dalam buku Api Tauhid karangan Habibirrahman El-Shirazy. Sudah lima
sub-bab aku libas habis.
o0o
Namanya Rahma. Santriwati berdarah sunda yang
menjadi bahan pembicaraan para santriwan karena dia begitu sempurna. Dia
cantik, memiliki dua lesung pipi yang akan melelehkan lawan bicaranya. Dia juga
cerdas. Dia pernah meraih medali emas dalam ajang Olimpiade Sains Nasional
bidang Kimia. Dia juga sangat baik hati. Itulah rumor yang sedang hangat
menerpa santri pondok. Terutama santriwannya. Aku sendiri belum pernah bicara
dengannya. Pertama kita tidak satu kelas. Dan yang kedua dia perempuan, aku sangat jarang
berbincang dengan lawan jenis. Kalau berbicara dengan lawan jenis hanya
seperlunya saja. Dan aku tidak ingin akan ada fitnah yang menyebar jika aku
terlalu sering berbicara dengan akhwat[2]. Karena sudah banyak kasus yang menyeret santri karena hubungan
yang hanya akan mengarahkan kepada maksiat itu.
Rahma sedang duduk di dalam kelas. Ia memainkan
pulpennya. Ia sedang memikirkan sesuatu. Tepatnya merencanakan sesuatu. Sesuatu
yang sebenarnya menohok hatinya sendiri. Sebuah rencana yang justru hanya akan
menyakitinya jika itu gagal. Bukan hanya dia yang akan sakit. Orang lain juga akan
merasakannya. Tapi ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Perempuan jelita itu
harus melakukan ini agar dia tidak selalu dihantui oleh bayang-bayang seseorang
yang sangat ia kagumi. Yang mungkin juga ia cintai sepenuh hati. Dialah Dimas.
Rahma berpikir sejenak. Ia ingin menulis surat
untuk Dimas. Ini memang cara klasik. Klasik sekali bahkan. Tapi ia tidak bisa
menemukan cara lain untuk memberitahu hal yang mengganjal di hatinya itu.
Kemudian huruf demi huruf ia ukir dengan sangat hati-hati di atas kertas berwarna krem yang sudah diberi
minyak wangi. Di akhir suratnya, ia menuliskan satu bait puisi yang indah.
Kekagumanku
kepadamu ini mungkin hanyalah kekaguman biasa
Tidak sebesar kekagumanmu dan
kekagumanku pada-Nya
Tidak seindah suaramu saat
melantunkan firman-firman-Nya
Entah ini hanya rasa kagum atau
bahkan cinta, aku pun tidak tahu
Setelah selesai, ia menambahkan satu kalimat
permohonan. ‘Jika kamu memiliki rasa yang sama kepadaku balaslah surat ini,
jika tidak maka buanglah surat ini jauh-jauh dan jangan pernah membalasnya’
lalu ia melipat surat itu dan ia masukkan ke dalam amplop biru. Lalu Rahma
segera menuju kelas Dimas. Kebetulan sekali Dimas tidak ada. Dan santri yang
berada di dalam kelas sedang terlelap. Ia segera memasukkan surat itu ke dalam
tas Dimas. Sebenarnya ia tidak yakin itu tasnya atau bukan. Yang jelas, ia
sering memerhatikan Dimas menggunakan tas berwarna abu-abu itu. Dengan cepat ia
menyelipkan surat itu dan segera meninggalkan kelas sebelum teman-teman Dimas
bangun atau bahkan Dimas kembali.
o0o
Selepas Isya, seperti biasa aku memperbanyak latihanku dengan Ustadz Taufiq
mengingat aku akan maju ke tingkat provinsi besok. Aku melantunkan Surat Lukman
ayat 1-10 dengan hati-hati. Setelah itu, Ustadz Taufiq yang akan mengomentari
bacaanku. Panjang pendeknya, tinggi rendahnya nada yang aku ambil, dan pemilihan lagu. Setelah
aku kira cukup, aku pulang kembali ke asrama bersama Ustadz Taufiq.
“Ustadz, apakah ada doa untuk menghindari godaan
kaum hawa?” tanyaku tiba-tiba saat kami sedang berjalan beriringan menuju
asrama.
“Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?
Sedang jatuh hati ya?” gurau Ustadz muda itu. Aku sendiri tidak sadar. Kalimat
itu tiba-tiba meluncur saja dari mulutku.
“Bukan begitu Ustadz, saya hanya ingin tahu
supaya saat hidup di masyarakat nanti saya tidak mudah tergoda oleh mereka. Kan
di luar katanya pergaulannya begitu bebas. Berbeda dengan di pondok ini yang
semuanya homogen.” jawabku mencoba untuk rasional.
“O begitu, dulu saya pernah diajari ustadz saya waktu di Gontor. Doanya
seperti ini. A’udzubillahi
minal fitnati nisa[3].”
“A’udzubillahi
minal fitnati nisa” aku mengulangi doa tersebut.
o0o
Malam telah menunjuk pukul sepuluh. Beberapa
santri sudah terlelap. Angin malam bertiup lembut. Bulan menyabit langit di
antara ribuan bintang. Satu-dua awan tipis melintas menutupi sinar bulan. Malam
itu begitu damai. Suara jangkrik memecah keheningan malam. Tak kalah suara
dengkuran-dengkuran para pencari ilmu.
Aku sedang memersiapkan barang-barang yang akan
aku bawa besok pagi. Aku segera mengeluarkan isi tas yang aku akan aku pakai.
Tiba-tiba sepucuk surat aku temukan di dalam tas. Surat itu dibalut amplop biru yang indah dan
lembut. Bau minyak wangi perempuan segera menyerbu penciumanku. Astaghfirullah!
Pelan-pelan aku membuka amplop itu. Dengan hati-hati aku membentangkan surat itu dan membacanya dengan teliti. Setelah membaca
surat itu aku memohon ampun kepada Allah. Astaghfirullah!
Pada bagian akhir surat itu tertulis ‘Jika kamu
memiliki rasa yang sama kepadaku balaslah surat ini, jika tidak maka buanglah
surat ini jauh-jauh dan jangan pernah membalasnya’ jantungku berdegup kencang
membaca kalimat itu. Aku bingung. Aku tak ingin membalasnya, tapi aku tak ingin
membuatnya sakit hati. Aku harus bagaimana? Akhirnya aku memilih untuk
membalasnya saja. Kupilih kata-kata yang sekiranya sopan dan tidak menyinggung
perasaan tapi bisa menyampaikan maksud yang ingin aku ungkapkan kepadanya.
Setelah selesai kumasukkan suratku ke dalam amplop biru bersama surat miliknya.
Kemudian aku menitipkannya kepada Ojan karena dia satu kelas dengan Rahma.
Pagi-pagi aku harus segera berangkat ke Surabaya
untuk mengikuti musabaqah
tilawatil quran yang diselenggarakan oleh
Kementerian Agama Republik Indonesia. Ternyata Ustadz Taufiq telah menungguku
di depan asrama dengan mobilnya. Kami segera berangkat ke Surabaya. Aku tidak
mau telat dalam ajang sepenting ini. Dan aku harus membawa pulang kemenangan.
Harus.
o0o
Dengan napas yang tersengal-sengal aku berlari
ke ruangan Ustadz Lukman. Setibanya di sana, ternyata sudah ada banyak orang
yang memenuhi ruangan. Ustadz Lukman sendiri sedang berdiri memandangiku yang
baru saja masuk dengan wajah yang tersungut-sungut. Beliau marah besar. Seketika
semua orang di ruangan itu menatapku tajam. Ada Ustadzah Poeji, Ustadz Fahri,
bahkan ada Rahma dan dua temannya. Aku masih bingung apa yang sedang terjadi di
sini? Tak berapa lama Ustadz Taufiq masuk ruangan. Rasa tegang terasa merasuk
ke seluruh tulang-tulanngku.
“Dimas, kamu tahu kenapa kamu saya panggil ke
sini?” tanya Ustadz Lukman ketus.
“Afwan[4] Ustadz, saya tidak tahu. Saya sendiri bingung
kenapa saya dipanggil dan kenapa Ustadzah Poeji, Ustadz Fahri, dan Rahma ada di
sini? Apa ada kaitannya dengan mereka?”
“Begini Dimas, sebenarnya saya juga tidak
menyangka kamu berani melakukan ini.”
“Melakukan apa Ustadz?”
“Tolong jangan memotong orang yang sedang
berbicara!” Ustadz Lukman semakin naik pitam.
Semuanya terdiam. Belum pernah Ustadz Lukman
marah seperti ini. Beliau terkenal sangat penyabar menghadapi santri-santri
yang membuat onar. Apa masalah besar yang sedang menimpaku sehingga Ustadz
Lukman sebegitu marah kepadaku?
“Dimas, kamu telah melanggar tata tertib santri
tingkat lima. Pelanggaran ini belum pernah dilakukan oleh santri sebelumnya dan
kau melanggarnya Dimas! Saya tidak menyangka kamu melakukan ini. Saya tahu kamu
santri yang pandai dan kamu memiliki potensi yang besar. Saya benar-benar tidak
menyangka Dimas. Dan kau tahu Dimas apa hukuman bagi santri yang melanggar tata
tertib santri tingkat lima? Santri akan dikeluarkan Dimas! Astaghfirullah.”
tutur Ustadz Lukman.
“Tapi saya tidak melakukan sesuatu yang
melanggar tata tertib santri Ustadz.”
“Masih tidak mau mengaku ternyata. Ngaku saja
Dimas! Semuanya sudah jelas.” tambah Ustadzah Poeji.
“Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Saya sama
sekali tidak mengerti.” jelasku.
“Kamu telah berkhalwat dengan Rahma kemarin.” kata
Ustadz Lukman.
“Astaghfirullah! Bagaimana bisa saya berkhalwat dengan Rahma
Ustadz? Kan saya kemarin mengikuti musabaqah
tilawatil quran di Surabaya bersama Ustadz
Taufiq. Bagaaimana mungkin saya bisa berada pada dua tempat yang berbeda dalam
waktu yang sama. Maaf, sebagai orang yang berilmu seharusnya Ustadz bertabayyun[5] terlebih dahulu berita tersebut benar atau tidak.
Dan masalahnya rumor yang tersebar ini sungguh tidak rasional.” jelasku
tersungut-sungut.
“Benar Ustadz, Dimas kemarin bersama saya ke
Surabaya. Tidak mungkin dia berada di tempat yang berbeda dalam waktu yang
sama. Ini sungguh tidak rasional. Mungkin ada baiknya kita mendengar penjelasan
dari Rahma dahulu Ustadz.” lanjut Ustadz Taufiq.
“Rahma, kamu harus bisa menjelaskan kejadian
ini! Jelas-jelas aku tidak pernah bersamamu. Bicara saja kita tidak pernah.
Kamu harus jelaskan apa yang terjadi sebenarnya.” kataku.
Rahma hanya tertunduk malu. Hatinya bergetar.
Air matanya mulai menetes menyisir pipinya. Dia mulai terisak. Sejenak kemudian
mulutnya terbuka, sepertinya ia ingin angkat bicara dan menjelaskan kejadian
ini.
“Sebenarnya Dimas tidak salah apa-apa Ustadz.
Saya hanya merasa sakit hati kepadanya. Dia menolak perasaan saya kepadanya
melalui surat. Padahal saya sudah memintanya kalau tidak bisa menerima tidak
usah dibalas. Tapi Dimas membalas surat itu dan menyatakan ketidak
bersediaannya untuk menerima perasaan saya. Saya merasa dipermainkan Ustadz.”
jelas Rahma terisak.
Semuanya diam. Hanya isakan Rahma yang
terdengar. Aku menelan ludah. Aku telah menyakiti hati seorang gadis. Bukan
gadis biasa, tapi gadis yang memang sempurna di mata teman-temanku bahkan di
mataku. Tapi aku tidak bisa menerimanya sekarang. Waktunya tidak tepat. Kenapa
jadi serba salah begini?
Akhirnya, Ustadz Lukman menyudahi masalah ini sebelum
santri lain mengetahui. Aku juga tidak mau banyak hati yang akan tersakiti
karena masalah ini. Aku dan Rahma pun kembali seperti biasa tidak saling
bicara. Mungkin kejadian di ruang Kepala Asrama tempo hari merupakan
pembicaraanku dengan Rahma untuk yang pertama dan terakhir. Sekarang Rahma
menjadi sosok yang lebih tertutup. Aku kasihan melihatnya. Hatiku sendiri
seperti tersayat ribuan pisau. Sungguh aku ingin bicara dengannya lagi dan
melihat senyum indahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar