Surat dalam Novel (bagian-1)
SURAT MENYURAT ANTARA HAMID DAN ZAINAB DALAM DI BAWAH LINDUNGAN KA'BAH (HAMKA)
Surat Hamid kepada Zainab:
Adikku Zainab!
Menyesal sekali, karena sebelum berangkat tak sempat saya bertemu muka dengan adinda lebih dahulu. Maafkanlah adik, karena amat banyak alangan yang menyebabkan saya tak sempat datang seketika itu, alangan yang tidak dapat saya sebutkan.
Barangkali agak sedikit, tentu adik bertanya juga dalam hati, apa gerangan apa sebabnya abang Hamid berangkat dengan tiba-tiba. Biarlah hal itu menjadi soal buat sementara waktu, lama-lama tentu akan hilang juga dengan sendirinya.
Banyak hal-hal yang akan saya terangkan dalam surat ini tetapi tak sanggup saya melukiskan.
Hanya dengan surat ini saya bermohon sangat supaya adik menuruti segala cita-cita ibu. Jika kelak maksud keluarga sampai dan adik bersuami, berikan kepadanya kesetiaan yang penuh.
Akan hal diri saya ini, ingatlah sebagai mengingat seorang yang telah bertemu dalam peri penghidupanmu, seorang sahabat dan boleh juga disebut saudara yang ikhlas dan saya sendiri akan memandang engkau tetap sebagai adikku.
Jika pergaulanmu kelak dengan suamimu berjalan dengan gembira dan beruntung, sampaikanlah salam abang kepadanya. katakan bahwa di suatu negeri yang jauh, yang tak tentu tanahnya ada saabat yng senantiasa ingat akan kita. Dan biarlah Allah memberi perlindungan atas kita semua.
Wassalam, abangmu,
HAMID
Surat balasan Zainab kepada Hamid:
Abangku Hamid!
Baru sekarang adinda boleh berita di mana abang sekarang. Telah hampir dua tahun hilang saja dari mata, laksana seekor burung yang terlepas dari sangkarnya sepeninggal yang empunya pergi. Kadang-kadang adinda sesali diri sendiri, agaknya adinda telah bersalah besar, sehingga kakanda pergi dengan tak memberi tahu lebih dahulu.
Sayang sekali,pertanyaan abang belum dapat adinda jawab dan abang telah hilang sebelum mulutku sanggup menyusun perkataan penjawabnya. Kemudian itu, abang perintahkan adinda menurut perintah orang tua, tetapi adinda syak wasangka melihat sikap abang yang gugup ketika menjatuhkan perintah itu.
Wahai bang... pertalian kita diikatkan oleh beberapa macam tanda tanya dan teka-teki, sebelum terjawab semuanya, kakandapun pergi!
Adinda senantiasa tiada putus pengharapan, adinda tunggu kabar berita. Di balik tiap-tiap kalimat daripada suratmu,abang!... surat yang terkirim dari Medan,ketika abang akan berlayar jauh, telah adinda periksa dan adinda selidiki; banyak sangat surat itu berisi bayangan, di balik yang tersurat ada yang tersirat. Adinda hendak membalas, tetapi ke tanah manakah surat itu hendak dinda kirimkan, abang hilang tak tentu rimbanya!
Hanya kepada bulan purnama di malam hari adinda bisikkan dan pesankan kerinduan adinda hendak bertemu. Tetapi, bulan itu tak tetap datang; pada malam berikutnya dan seterusnya ia kan surut... hanya kepada angin petang yang berhembus di ranting-ranting kayu di dekat rumahku, hanya kepadanya aku bisikkan menyuruh supaya ditolongnya memeliharakan abangku yang berjalan jauh, entah di darat entah di laut, entah sengsara kehausan....
Hanya kepada surat abang itu, surat yang hanya sekali itu dinda terima selama hidup,adinda tumpahkan air mata, karena hanya menumpahkan air mata itulah kepandaian yang paling penghabisan bagi orang perempuan. tetapi surat itu bisu, meskipun ia telah lapuk dalam lipatan dan telah layu karena kerap dibaca,rahasia itu tidak juga dapat dibukanya.
Sekarang abang, badan adinda sakit-sakit, ajal entah berlaku pagi hari, entah besok sore, gerak Allah siapa tahu. Besarlah pengharapan bertemu....
Dan jika abang terlambat pulang, agaknya bekas tanah penggalian, bekas air penalakin (air doa) dan jejak mejan yang dua, hanya yang akan abang dapati.
Adkmu yang tulus,
ZAINAB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar