Salah satu sarana berbahasa adalah penggunaan majas. Sebagaimana dikatakan oleh Gorys Keraf bahwa “gaya
bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara
khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa”.1
Salah satu majas atau gaya bahasa yang mempunyai kedudukan penting di antara
sedemikan banyak majas atau gaya bahasa
adalah majas atau gaya bahasa metafora.
Metafora sebagai bagian dari
majas atau gaya bahasa yang penggunaannya berfungsi puitik, yaitu menjadikan pesan
lebih berbobot dan terasa lebih estetis. Pemakaian gaya bahasa yang tepat,
sesuai dengan waktu dan penerima yang menjadi sasaran, serta sesuai konteksnya
akan dapat menarik perhatian penerima. Pemakaian gaya bahasa juga dapat
menghidupkan apa yang dikemukakan dalam teks karena gaya bahasa dapat
mengemukakan gagasan yang penuh makna dengan struktur yang singkat. 2
Selain dapat menghidupkan dan memberikan gambaran gagasan yang penuh makna,
metafora juga berperan besar dalam dunia ilmu pengetahuan. Demikian besarnya
peran metafora dalam dunia keilmuan dikemukakan oleh Ken Baake dalam Metaphor and Knowledge: The Challenges of Writing Science sebagai berikut
Metaphor is
one of several tools for producing theory, along with mathematics, empirical
research, and intuition. Some metaphors, of course, are more powerful than
others. A metaphor that portrays atoms linked together like Tinkertoys to form
molecules is naïve, perhaps more appropriate as a means of delivering knowledge
to children than as an aid to adult scientific cognition. But almost any metaphor
that a scientist reaches for in an attempt to understand reality will have some
value in bringing that reality to light, even if the metaphor is later
discarded. (Even the Tinkertoy model would have been useful when molecular
theory was first developing). Coming to peace with metaphor’s role in producing
knowledge is something of importance to members of the Santa Fe Institute. If
metaphor produces knowledge, then it is a semantic phenomenon that demands much
more attention among scientists and technical writers of science than if it
merely describes, delivers, or decorates knowledge.3
Pandangan Ken Baake tersebut
dapat dikemukakan kembali bahwa metafora merupakan salah satu sarana yang penting dalam
menghasilkan teori ilmu pengetahuan sebagaimana sarana penting lainnya seperti
matematika, penelitian empiris, dan intuisi. Sebagai contoh peran metafora, untuk
menggambarkan rangkaian atom yang membentuk molekul yang sebenarnya sulit ditangkap
oleh pancaindera atau abstrak, digunakanlah
metafora dengan permainan yang disebut tinkertoys,
sejenis bola kecil yang dirangkai menjadi model atom tertentu. Rangkaian bola yang merupakan
metafora terhadap rangkaian atau struktur atom tersbut
terkesan seperti mainan untuk anak-anak. Akan tetapi, dengan rangkaian bola
permainan tersebut sebuah strukur atom yang rumit dan abstrak dapat tergambar secara jelas sehingga dapat menjelaskan teori
molekul yang abstrak menjadi mudah dipahami.
Sejalan dengan peran metafora dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
sejalan pula dengan fungsi serta tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia, kemampuan untuk mengenali, memahami, dan menggunakan metafora dengan cermat sangat diperlukan bagi siswa. Oleh karena
itu, dalam pembelajaran di kelas mutlak diperlukan pelatihan dengan baik.
Sumber-sumber pembelajaran gaya
bahasa pun perlu dicari alternatif
dan perlu dikembangkan dengan baik pula agar wawasan dan pemahaman siswa
menjadi lebih luas dan lebih mendalam. Salah satu alternatif sumber pembelajaran gaya bahasa metafora adalah Alquran.
Alquran merupakan pedoman hidup bagi umat Islam. Konsep-konsep ajaran baik
itu berupa perintah, larangan, dan informasi-informasi lain di dalamnya sangat
banyak dan lengkap. Salah satu cara untuk menjelaskan konsep-konsep tersebut
adalah dengan menggunakan metafora. Metafora
yang berupa perumpamaan, tamsil,
ataupun kias diharapkan dapat
memberikan pemahaman semakin jelas, konkret, dan mudah dimengerti.
Digunakannya perumpamaan-perumpamaan bukan semata-semata membandingkan atau
mengibaratkan, tetapi merupakan seni dalam menjelaskan sebuah konsep dan
gagasan yang bersifat abstrak. Konsep mengenai jiwa, nafsu, surga, neraka, pahala,
dosa, kafir, munafik, dan
lain-lain adalah hal-hal
yang abstrak dan sulit dipahami. Hal itu akan menjadi
jelas, manakala dihadirkan metafora dengan menggunakan
perbandingan terhadap
suatu hal yang konkret yang sudah kita kenal dan mudah kita pahami.
Metafora atau
perumpamaan-perumpamaan, sengaja digunakan oleh Allah swt. untuk manusia agar manusia mau
mendengar seruan-seruan-Nya dan dapat memahami
firman-fiman-Nya. Selain itu,
perumpamaan-perumpamaan diambil dari apa-apa yang teleh diketahui oleh manusia dan untuk diketahui
dan dipahami oleh manusia. Dengan demikian, maksud-maksud yang hendak
disampaikan oleh Allah swt. dapat dipahami dengan lebih mudah dan lebih jelas
oleh manusia. Hal ini sebagaimana
difirmankan Allah swt. dalam Alquran surat Al-Hajj ayat 73,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ
”Hai manusia, telah dibuat
perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu....” 4
Selanjutnya, dalam surat An-Nuur ayat 35 Allah swt. juga berfirman,
وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
”...Dan Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu” 5
ضَرَبَ لَكُمْ مَثَلا مِنْ أَنْفُسِكُمْ
”Dia telah membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu
sendiri....”6
Sengaja Allah swt. membuat
perumpamaan atau perbandingan dengan menggunakan sesuatu yang telah manusia
kenali dan sesuatu yang telah manusia ketahui agar pesan-pesan-Nya itu sampai
kepada manusia. Allah swt. tidak membuat perumpamaan dari diri-Nya dan untuk
diri-Nya sendiri. Bagaimana mungkin Dia diperumpamakan bila Dia tidak memiliki
padanan dan tidak pula memiliki persamaan
sebagaimana firman-Nya dalam Alquran surat an-Nahl ayat 74,
فَلا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الأمْثَالَ إِنَّ اللَّهَ
يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Artinya, Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah.
Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.7
Kata sekutu, oleh Abi Abdullah
At-Tirmidzi diartikan sebagai perumpamaan, pamadanan, atau pemisalan terhadap
Allah swt. Oleh sebab itu, segala bentuk perbandingan, perumpamaan, maupun
metafora yang mengarah kepada perbandingan Allah swt. dengan zat yang lainnya
tidak dapat dilakukan.8
Sejalan dengan perintah Allah swt. agar manusia dapat memahami perumpamaan atau metafora yang dibuat-Nya, pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah menuntut kemampuan siswa dalam memahami penggunaan majas metafora, baik dalam wacana berupa artikel, prosa, maupun puisi.
Lebih lanjut, siswa pun diharapkan berkompeten dalam mengembangkan gagasan secara metaforis. Tuntutan kompetensi ini menjadi lebih dititikberatkan
terutama kepada para siswa
Madrasah Aliyah yang kerapkali berhadapan dengan tuntutan kemampuan
memahami teks-teks Alquran dan hadis.
Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui lebih jauh penggunaan gaya bahasa metafora
dalam Alquran yakni dalam tafsir Alquran al-Mishbah karya M. Quraish Syihab.
Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan terhadap
penggalian, penggunaan sumber-sumber pembelajaran metafora, dan dapat diterapkan
dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya di Madrasah Aliyah.
Sebagai contoh penggunaan majas perumpamaan dalam
Alquran, berikut ini penulis sajikan
kutipan ayat Alquran surat Huud ayat 24 yang artinya:
”Umpama dua golongan yaitu kafir dan mukmin
seperti orang buta lagi tuli dengan orang yang melihat lagi mendengar. Adakah
kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tiadakah kamu mengambil
pelajaran?(dari perbandingan itu).”9
Dalam ayat di atas, Allah swt. menjelaskan tentang orang kafir dan orang
mukmin dengan cara menggunakan perbandingan dua hal atau lebih yang bersifat
abstrak (kafir dan mukmin) dengan sesuatu yang bersifat konkret (buta-tuli dan
melihat-mendengar). Terhadap golongan orang yang kafir, Allah membandingkannya
dengan orang yang buta dan tuli. Sementara itu, tehadap golongan orang yang
mukmin Allah membandingkannya dengan orang yang dapat melihat dan mendengar.
Untuk memahami seperti apa
orang kafir, terlebih dahulu hendaknya kita paham seperti apa orang buta dan
orang tuli dan untuk memahami seperti apa orang mukmin, kita terlebih dahulu
hendaknya paham seperti apa orang yang dapat melihat dan dapat mendengar.
No.
|
Dua hal yang dibandingkan
|
identifikasi
|
1.
2.
|
Orang kafir dengan orang yang buta dan tuli
Orang mukmin dengan orang yang melihat dan mendengar
|
Orang buta:
§
tidak bisa melihat
segala yang ada di sekitarnya
§
mengenali suatu benda dengan meraba-raba
§
tidak mengetahui keadaan di sekililingnya
§
tidak tahu arah
§
tidak dapat membedakan pemandangan yang indah dan
menyejukkan, dan yang buruk dan mengerikan
Orang tuli:
§
tidak dapat mendengar
§
Tidak bisa menangkap suara-suara yang bersumber dari
sekelilingnya
§
tidak mengetahui ada informasi atau tidak
§
tidak dapat menyaring informasi yang baik maupun
informasi yang buruk
Orang yang melihat:
§
dapat melihat keadaan di sekitarnya dengan jelas
§
bisa membedakan keadaan melalui apa yang dilihatnya
§
bisa mengenali suatu benada atau keadaan melalaui
penglihatannya
Orang yang bisa mendengar
§
dapat menerima pesan dengan benar dan jelas
§
dapat membedakan pesan yang benar dan pesan yang salah
§
bisa menangkap segala suara/pesan yang ada di
sekitarnya
§
peka dengan keadaan sekitar (dari apa yang didengarnya)
|
Berdasarkan identifikasai
ciri-ciri orang buta dan orang tuli
seperti dipaparkan di atas dapatlah kita pahami bahwa orang kafir itu adalah
orang yang tidak dapat melihat keindahan, kebenaran, dan keagungan ciptaan
Allah swt. Orang kafir adalah orang yang tidak tahu arah tujuan hidup, tidak
dapat menangkap ajakan dan seruan ke jalan kebaikan yang Allah sampaikan. Sebaliknya,
orang mukmin adalah orang yang senantiasa dapat dengan cermat melihat keadaan
yang ada dan tejadi di sekelilingnya, dapat dengan jelas membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk. Selain itu, orang
mukmin akan dapat menerima pesan, seruan, ajakan Allah swt. dan senantiasa memiliki kepekaan
terhadap kejadian di sekeitarnya.
Contoh lain, Allah menggunakan
perbandingan berupa metafora ketika menjelaskan gunung. Allah membandingkan gunung-gunung
dengan pasak, sebagaimana terungkap dalam Alquran surat an-Naba ayat 7:
وَالْجِبَالَ
أَوْتَادًا
Dan(Allah) menjadikan gunung-gunung sebagai pasak
Gunung-gunung
|
Pasak
|
Benda konkret
|
Benda konkret
|
Tumpukan tanah yang lebih tinggi dari tempat di sekelilingnya, bukit yang sangat besar dan tinggi (biasanya
tingginya lebih dari 600 m)
|
1)
Sejenis paku yang dibuat
dari kayu, bambu, atau besi.
2)
Berfungsi menguatkan suatu
benda untuk menyatu atau menempel dengan benda lainnya
|
Berdasarkan pemahaman terhadap
pasak dan fungsinya seperti dipaparkan di atas, kita dapat memahami pernyataan
bahwa gunung-gunung sebagai pasak. Artinya, gunung-gunung berfungsi sebagaimana
pasak, yakni sebagai penguat bagi bumi. Sebagaimana
pasak yang digunakan untuk menahan atau menyatukan
sesuatu agar kokoh, gunung-gunung juga memiliki fungsi penting dalam
menyetabilkan kerak bumi. Gunung dapat berfungsi untuk mencegah goyahnya tanah. Allah berfirman:
وَأَلْقَىٰ
فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِكُمْ وَأَنْهَارًا وَسُبُلًا لَعَلَّكُمْ
تَهْتَدُونَ
Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi
supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai
dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk. 10
Ilmu bumi modern telah
membuktikan bahwa gunung-gunung memiliki akar di dalam tanah dan akar ini dapat
mencapai kedalaman yang berlipat dari ketinggiannya di atas permukaan tanah.
Berikut ini ilustrasi yang memperlihatkan bahwa gunung seperti halnya pasak.
Gambar bagan potongan melintang. Gunung-gunung,
sebagaimana pasak, memiliki akar yang menghunjam di bawah tanah. (Anatomy of
the Earth, Cailleux, hal. 220) dari http://www.al-habib.info/review/al-quran-gunung-sebagai-pasak.htm.
1Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 113.
2Jacobson dalam Vanoye Francis, Expression Communication (Paris: Armand Collin, 1971), hlm.59.
3Ken Baake, Metaphor and Knowledge: The Challenges of Writing Science, (State University of New York, 2003) , hlm. 56
4Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahnya (surat Al-Hajj ayat 73), (Semarang: CV Toha Putra Semarang, 1989)
5ibid., surat An-Nuur ayat 35.
7ibid. surat an-Nahl ayat 74.
8Abi Abdullah At-Tirmidzi, Metafora Hikmah: Perumpamaan-Perumpamaan dalam Alquran, Sunnah, dan Ulama, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. Vii.
9op.cit. surat Huud ayat 24
10op.cit. surat An Nahl, 16:15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar