Selasa, 16 Februari 2016

Cerpen_!

Kalau Saja Ayah Tahu....
Kalau saja tidak ingat nasehat ayahku tempo hari, rasanya malas sekali aku bangun pagi ini. Kalau saja tidak ingat akan perlakuan teman-temanku padaku beberapa waktu yang lalu rasanya aku malas turun dari tempat tidurku pagi ini. Kalau saja tidak ingat akan cita-cita dan masa depanku, rasanya aku malas beranjak ke kamar mandi pagi ini.
Perlahan kubuka gorden jendela kamarku. Kulihat temaram sinar  surya sudah menerangi pelataran rumahku. Tak lagi kudengar kukuruyuk ayam jantan tetanggaku.Tak lagi kudengar salak anjing Pa Hendrik yang biasanya memecah suasana pagi buta di kompleksku. Pertanda… pagi sudah mulai beranjak meninggalkan singgasananya menuju mahligai siang.
“Kakak…., Zulfa.…,sudah siang!” “Solat subuh!” Tiba-tiba suara ayahku memecah lamunanku.


“Iii iya Yah!” jawabku spontan sambil kurapikan seprai sekenanya.
Betapa terkejutnya aku ketika melihat jam dinding yang ada di ruang tamu telah menunujukkan pukul 06.30 wib. Aku semakin bergegas menuju kamar mandi sekedar cuci muka dan dilanjutkan dengan berwudu. Lalu aku kembali ke kamarku untuk menunaikan solat subuh.
Hari itu, hari Ahad, 4 November 2007.
Tok-tok-tok, terdengar sura pintu kamarku diketok. “Kak… buka pintunya!” suara ayahku kembali memecah keheningan kamarku.
“Ada apa Yah?” tanyaku pada ayah yang sudah mengenakan jaket tebal dan menenteng helm.
“Ayah mau nganter bunda kuliah, kamu baik-baik ya di rumah!” “Jaga Ade, ingetin ga boleh lama-lama mainnya.” Dan jangan lupa sarapan dan minum susunya.”  Pesan ayah banyak sekali. “Oh ya, ada PR ga? Jangan lupa dikerjakan ya!” sambung ayahku.
“Kak, inget pesen Ayah!” Nanti kalau mau bikin telur dadar minta bantun mba Mimin aja!”sambung Bundaku.
“Asalamu alaikum”, bunda dan ayah meninggalkan kami. “Wa alaikum salam” jawabku seraya mengiringi langkah ayah dan bundaku ke luar rumah. Kupandangi kepergian kedua orang tuaku dengan iringan doa semoga mereka selamat  dalam perjalanan.
Aku bergegas mau kembali masuk kamar. Mau sarapan dulu, rasanya belum nafsu.
Oh, ya adikku di mana dia sekarang? Aku mengurungkan niatku masuk kamar.
“Mba…,Mbaa…!” kupanggil-panggil Mba Mimin. Tak terdengar sahutan. Kemana dia?
“Mba…!” kuulangi sekali lagi dengan suara agak keras.
“Ada apa Kak?” Tiba-tiba Mba Mimin ada di hadapanku dengan melontarkan pertanyaan itu.
“Ade Fatih ke mana?” tanyaku pada Mba Mimin. “Tadi sih mba liat Fatih pergi ke rumah Irfan” “Mungkin nonton teve di rumah Irfan kali Kak” jawab Mba Mimin menduga-duga keberadaan adikku.
Ya sudah berarti adikku aman bersama temannya di rumah sedang nonton teve. Akhirnya aku masuk kamar. Kunyalakan komputer di meja belajarku. Entah apa yang akan kuperbuat dengn komputer itu aku ga tau. Komputer sudah nyala dan aku bengong di hadapannya. Akhirnya, kumatikan kembali komputer itu. Lalu, kuraih buku harianku yang terselip di antara jejeran buku pelajaran. Ketika kubuka-buka lembar demi lembar, tiba-tiba wajah ayah bundaku datang menghiasai halaman-halaman buku harianku. Aku terperanjat kaget. Ada apa dengan ayah bundaku? Mengapa mereka datang dan menghiasi buku harianku ini? Oh, tidak. Ini mungkin hanya halusinasiku saja. Mungkin karena aku terlalu cemas atas kepergian ayah bundaku tadi pagi. Kucoba tutup buku harianku. Dan…, bayang-bayang ayah bundaku muncul lagi di bingakai foto yang terpajang di atas meja belajarku.
Ada apa ini? Gumamku dalam hati. Mungkinkan ada sesuatu yang terjadi dengan ayah bundaku. Oh tidak.
Untuk menenagkan persaanku yang gunda, aku baca-baca Alquran. Baru beberapa ayat kubaca, wajah ayah bundaku datang menghiasai halaman Quran yang sedang kubaca. Kupaksakan terus membaca.
Ya, Allah ada apa dengan ayah bundaku? Mengapa mereka terus-menerus datang dalam imajinasiku? Ya, Allah selamatkan ayah bundaku dalam perjalanan. Lindungilah ayah bundaku selama dalam perjalana ya Allah. Rabbighfirlii waali walidayya warhamhumaa kamaa obbayaani shoghiraa. Robbana atina fidunya hasanah wafil aakhiroti hasana wakina ‘adzaabannar.  Amiin.
Kupanjatkan doa-doa itu setelah aku menyelesaikan membaca surat Al-Waqiah.
“Kak…, Kakaak…!” dari luar kamar, suara adikku melengking memanggil-manggilku. Aku masih tediam membayangkan kejadian-kejadian tadi.
“Kak… ade mau makan” “Bikinin mie rebus doong” pinta adikku dari luar dengan suaranya yang khas.
“Sini De, mba bikinin” terdengar mba Mimin menawarkan jasa pada adikku.
“Ngga mau, ade maunya dibikinin kakak” pinta adikku memaksa.
“Biar Mba, sini saya aja yang bikinin”, kataku  sambil melangkah ke dapur.
“Asyiiik, kakak baik deh”, rayu Fatih, adikku satu-satunya.
Mendengar rayuan adikku itu, aku hanya tersenyum. Paling bisa memang dia kalau merayu.
“Wow, sedap sekali, makasih ya Kak”demikian Fatih, adikku yang sedang asyik menonoton film kartun kesukaannya itu berterima kasih ketika aku menyodorkan mangkok di hadapannya.
“Iya, jangan lupa susunya diminum!” kataku.
“Oke!” uja Fatih sekenanya.
Aku sendiri, rasanya masih malas untuk menyantap sarapan pagi yang sudah disiapkan bundaku sejak pagi. Padahal, sekarang jarum pendek jam sudah menunjukkan angka 9. Aku hanya menyambar segelas susu cokelat yang sudah dibuatkan bunda. Kuminum susu itu sambil memperhatikan adikku menikmati mie instan rebus dengan lahapnya.
***********************
Kembali aku masuk ke kamar. Aku buka-buka lagi buku harianku. Dalam diam aku mencemaskan, jangan-jangan bayangan-bayangan ayah bundaku hadir lagi di lembar-lembar buku harianku nanti. Oh, ternyata tidak. Kubuka lembar demi lembar, sampai pada lembar ke 23 terhenti. Kubaca tulisan pada lembar itu lama-lama.Pada bagian atas halaman itu tertulis Selasa, 23 Oktober 2007.
Hari ini aku kesal sekali. Teman-temanku sepertinya ga ada yang mau menemaniku. Semua mencemoohku. Entah karena aku dianggapnya bodoh, ga bisa berteman seperti yang lain atau karena aku egois. Tapi, yang aku rasakan, teman-teman sinis padaku. Berbeda sekali jika dibandingkan perlakuan meraka kepada  Nita yang pintar matematika itu. Mereka seakan tak mau kehilangan Nita. Mereka mengerubuti Nita baik di kelas maupun sewaktu istrahat.
Aku akan buktikan kepada kalian bahwa aku tidak sebodoh yang kalian anggap. Akan kubuktikan bahwa aku juga pandai. Akan aku buktikan bahwa aku mampu menjadi yang tebaik di kelas ini.
Setiap kali kubuka buku harian halaman 23 ini setiap kali pula semangatku menggelora untuk giat belajar agar menjadi yang terbaik.
            Kulajutkan membuka-buka halaman demi halaman buku harianku sampai tidak terasa entah sudah berapa kali balik buku itu kubaca.Sesekali gerakan refleks terjadi,mulutku membuka lebar-lebar, mataku memejam diikuti keluarnya air mata, sepontan tanganku menutup rapat mulutku yang menganga itu. Ya, aku menguap. Menahan kantuk pada hari yang masih terbilang pagi, baru pukul 10.00.
***********************
            Tadi malam aku memaksakan diri menonton konser Indonesia Idol. Ayahku sudah mengingatkan berkali-kali agar aku segera tidur karena hari sudah larut malam. Tapi aku tetap tak bergeming di depan layar kaca. “Tanggung yah!” jawabku setiap kali ayahku mengingatkan untuk segera tidur. Sampai-sampai ayahku yang mengalah menemaniku menonton televisi. Padahal, yang aku tahu ayahku kurang suka dengan acara Indonesia Idol. Ayah lebih menyukai acara berita dan sesekali menyukai acara pertandingan sepak bola. Sekali waktu ayahku pernah bilang kalau sebenarnya ga begitu suka sama acara bola, tapi demi menyenangkan Fatih, adikku yang tergila-gila sama bola, ayahku jadi ikut terbawa suka bola juga.
Ayah menawariku susu cokelat hangat “Mau Ayah bikinin susu Kak?”
“Ga usah, Yah” ”Biar ntar kakak bikin sendiri aja”, timpalku.
“Ayah mau bikin mi goreng, Kakak mau ga?”  ayah menggoda seleraku.
“Ntar masuk angin loh Kak, begadang dalam keadaan perut kosong”,  lanjut ayahku.
“Mmm… boleh deh. Ayah bikin mi goreng, Kaka yang bikin susu hangat”, kataku berbagi tugas.
Ayah tahu betul kalau aku bakal ketakutan sendirian di ruang tamu menonton televisi malam itu. Jadilah kami begadang  hingga jam 1 malam.
**************************
Kriiing…..Krinng….Kriiing…., aku tersentak kaget dan terperanjat dari kantukku yang sudah sangat menggelayut. Suara telepon berdering terus-terusan, tapi ga ada yang mengangkat. Jangan-jangan Mba Mimin sedang menemani Fatih bermain bola di depan rumah. Aku bergegas mengangkat gagang telepon.
“Halo, apa benar ini rumahnya Pa Hasyim?” tanya suara seorang lelaki dewasa dari balik gagang telepon.
“Iya, betul. Ada apa Pak? Ini siapa ?”  “Ayah sedang keluar mengantar Bunda” jawabku penasaran.
“Saya polisi,ini siapanya Pa Hasyim?” tanya orang itu kembali.
“Saya Zulfa, anaknya Pa Hasyim” jawabku kembali.
“Nak Zulfa, ayah dan ibumu sekarang ada di rumah sakit Ashobirin.” “Bapak harap kamu bisa segera kemari dan beritahu anggota keluarga lain, terutama  yang sudah dewasa.” “Secepatnya!”
Byarrrr….Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Mulutku terkunci. Gagang telepon terlepas dari genggaman. Dan aku tersungkur. Entah berapa lama aku tersungkur di depan meja telepon.
*******************
Aku sekarang sudah terbaring di atas sofa. Rupanya Mba Mimin dan Om Nana mengangkatku dan berusaha membangunkan dan menyadarkan aku.
“Om…, kebetulan datang kemari” kataku tergopoh-gopoh.
“Ada apa Kak?” sergah Om Nana mengernyitkan dahinya.
“Ayah dan Bunda sekarang ada di rumah sakit Ashobirin” “Tadi pa polisi menelpon” “Kita disuruh secapatnya ke rumah sakit, Om”
“Ya, kalau begitu kita secepatnya ke sana!” “Mba gantiin baju Fatih, ayo kita segera ke rumah sakit”
Di rumah sakit, kami langsung menuju unit gawat darurat.Bau amis darah membuat perutku mual-mual.Kulihat sebagian besar orang di sana menampakkan muka tegang dan penuh cemas. Pada bagian lain aku melihat sekelompok orang sedang meraung-raung menangis. Entah ada apa. Mungkin salah satu anggoa keluarganya meninggal dunia pikirku. Berjalan menuju ruang tempat ayah bundaku berada rasanya lama betul. Aku bergegas,Om Nana menggandeng tanganku dan Mba Mimin menggandeng Ade Fatih.
Di bagian sudut unit gawat darurat aku dirahkan oleh petugas yang kutemui pertama kali aku memasuki rumah sakit ini.
“Kalian keluarganya Pa Hasyim?” tanya seorang laki-laki tua berjas putih, dan bercelana putih.
“Iya, Pak!” jawab kami.
“Mari silakan masuk!” orang itu mempersilakan kami.
Kami bergegas memasuki ruangan itu. Dan….
“Oh…tidaaak!” teriakku dalam batin.
Bundaku.., Bundaku kini terbaring tak bergerak sedkitpun. Tubuhnya dijalari selang oksigen.Pada bagian pelipis mata kirinya masih tampak darah merembas, hingga balutan kain kasa itu berganti warna menjadi merah. Sisa-sisa darah yang telah mengering tampak di pipi, dan di lehernya.
Kutatapi sekujur tubuh bundaku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tak menunjukkan tanda-tanda garakan sedikitpun. Bundaku masih belum sadarkan diri.
Kudengar suara tangsis adikku. Aku tak kuasa menahan tangis. Tangisku pecah. Air matah membasahi wajahku.Bunda….. Cepat sadarkan diri, Bunda…. Ya, Allah berikan kekuatan kepada Bundaku ya Allah. Pulihkan kesadaran bundaku ya Allah.
Ayahku. Dimana ayahku berada? Ku pandangi satu-persatu pasien yang ada di rangan itu. Tapi…., ayahku… Dimana ayahku? Aku seperti orang linglung. Mataku jelalatan kesana kemari. Mencari-cari sosok ayah.
Tiba-tiba seorang berseragam putih-puith sudah berada di hadapanku.
“Ade yang sabar ya!” kata dokter menenangkan aku.
“Ayah…, ayahku dimana Dok?” tanyaku tak sabar ingin segera bertemu ayah.
“Mungkin ini sudah kehendak Yang Kuasa” “Kita harus mengikhlaskan kepergiannya” kata dokter menangkan. Kata-kata itu menjadi kata-kata  terakhir yang kudengar  di ruagan gawat darurat.
Kegaduhan di rumahku semakin menjadi. Ketika rombonan keluarga dari kampung datang. Nenekku…, ya.. nenenkku, atau yang biasa kupanggil Mide adalah orang yang paling terpukul atas kepergian ayah. Kupeluk Mide kuat-kuat. Pecahlah tangis kami. Dan…. Entah apa lagi yang terjadi. Tiba-tiba aku sudah berada kembali di tempat tidur. Rupanya tadi aku pingsan lagi.
Aku dipapah keluar oleh Om Nana untuk melepas kepergian ayah. Beberapa orang menandu keranda jenazah ayahku dan memasukkannya ke dalam mobil jenazah. Bunyi sirine mobil jenazah mengiris-ngiris pilu hatiku. Hatiku menjerit sekuat-kuatnya “Jangan pergia ayahku, jangan pergi”.
Kembali aku dibaringkan di tempat tidur. Beberapa orang, juga nenekku menemaniku di kamar. Suara isak tangis masih terdengar samar di telingaku.
Ade Fatih, adikku, dimana dia?
“Om, Ade Fatih dimana Om?” tanyaku pada Om Nana.
“Ade sama Mba Mimin dan Enin masih di rumah sakit. Nemenin Bunda. Bunda sudah siuman, tapi bunda belum boleh mendengar kabar tentang ayah dulu kata dokter”, jelas Om Nana.
“Om, kakak pengen ke Bunda” pintaku.
“Tapi, janji ya. Kakak ga boleh ngasih tau dulu tentang ayah sama Bunda!” Om Nana memohon.
“Iya, Om”, jawabku.
Sebenarnya bukan hanya Bunda yang belum tau tenang kepergian ayah, Ade Fatih pun belum tahu dan bisa jadi belum mengerti tentang kepergian ayah.
Kubuka perahan-lahan ruangan tempat bundaku di rawat. Kumelangkah mendekat ke pembaringan bunda. Kulihat wajah cemas pada Om Nana dan Enin. Mungkin mereka khawatir, kalau-kalau aku tak kuat menahan tangis yang akhirnya membuat bundaku jadi tahu tentang kabar ayahku.
Aku berusaha tegar. Kupeluk bundaku erat-erat.
“Dari mana saja kak,baru kelihatan”, tanya bunda.
“Emm…anu…emm.. ada keperluan Nda”, jawabku sedapatnya.
“Kak, bagaimana dengan Ayah” “Ayah di mana kok ga kelihatan?” tanya bunda memecah rongga-rongga dadaku. Sunyi…..
*********************
“Sudahlah Nok, yang ikhlas. Mungkin Allah berkehendak lain dari kehendak kita.Yakinlah bahwa apa yang Allah perbuat kepada kita adalah yang terbaik bagi Allah juga bagi kita. Ikhlaskan kepergian suamimu. Semoga Allah memberi tempat yang baik buatnya” demikian nasehat-nasehat Enin pada bunda. Kulihat bunda sangat terpukul.
******************
Pagi itu, tanggal 8 November, hari ulang tahunku. Aku teringat peristiwa satu tahun silam, tepat di hari ulang tahunku.Waktu itu, ayahku sedang bertugas di luar kota.Ayahku mengirimkan sms untukku.
Selamat ulang tahun ya Kak.Semoga Kakak sehat selalu dan tumbuh menjadi muslimah yang dewasa.
***********************

Ayah, andai saja ayah tahu. Kakak sekarang sudah SMP dan bersekolah di sekolah yang dulu ayah inginkan. Ingat kan yah, dulu ayah menginginkan agar aku bersekolah di sekolah pesantren. Ayah ingin agar aku menjadi anak yang baik, anak yang solehah. Ayah, kini kakak sudah dapat menghapal Alquran 5 juz dan pada pembagian rapor semester kemarin, kakak mendapat rangking pertama. Yah, kakak ingin bisa sekolah sampai ke perguruan tinggi.Kakak ingin menunjukkan kepada teman-teman bahwa kakak tdak sebodoh yang mereka kira. Kakak ingin membahagiakan bunda, ade Fatih, dan tentunya ayah. Kakak ingin menegakkan kalimat Allah dengan ilmu yang kakak miliki.Kakak ingin menjadi muslimah yang dewasa seperti yang ayah inginkan dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar