Kalau Saja Ayah Tahu....
Kalau saja tidak ingat nasehat ayahku tempo hari,
rasanya malas sekali aku bangun pagi ini. Kalau saja tidak ingat akan perlakuan
teman-temanku padaku beberapa waktu yang lalu rasanya aku malas turun dari
tempat tidurku pagi ini. Kalau saja tidak ingat akan cita-cita dan masa
depanku, rasanya aku malas beranjak ke kamar mandi pagi ini.
Perlahan kubuka gorden jendela kamarku. Kulihat
temaram sinar surya sudah menerangi
pelataran rumahku. Tak lagi kudengar kukuruyuk ayam jantan tetanggaku.Tak lagi
kudengar salak anjing Pa Hendrik yang biasanya memecah suasana pagi buta di
kompleksku. Pertanda… pagi sudah mulai beranjak meninggalkan singgasananya
menuju mahligai siang.
“Kakak…., Zulfa.…,sudah siang!” “Solat subuh!”
Tiba-tiba suara ayahku memecah lamunanku.
“Iii iya Yah!” jawabku spontan sambil kurapikan seprai
sekenanya.
Betapa terkejutnya aku ketika melihat jam dinding yang
ada di ruang tamu telah menunujukkan pukul 06.30 wib. Aku semakin bergegas
menuju kamar mandi sekedar cuci muka dan dilanjutkan dengan berwudu. Lalu aku
kembali ke kamarku untuk menunaikan solat subuh.
Hari itu, hari Ahad, 4 November 2007.
Tok-tok-tok, terdengar sura pintu kamarku diketok.
“Kak… buka pintunya!” suara ayahku kembali memecah keheningan kamarku.
“Ada apa Yah?” tanyaku pada ayah yang sudah mengenakan
jaket tebal dan menenteng helm.
“Ayah mau nganter bunda kuliah, kamu baik-baik ya di
rumah!” “Jaga Ade, ingetin ga boleh lama-lama mainnya.” Dan jangan lupa sarapan
dan minum susunya.” Pesan ayah banyak
sekali. “Oh ya, ada PR ga? Jangan lupa dikerjakan ya!” sambung ayahku.
“Kak, inget pesen Ayah!” Nanti kalau mau bikin telur
dadar minta bantun mba Mimin aja!”sambung Bundaku.
“Asalamu alaikum”, bunda dan ayah
meninggalkan kami. “Wa alaikum salam”
jawabku seraya mengiringi langkah ayah dan bundaku ke luar rumah. Kupandangi
kepergian kedua orang tuaku dengan iringan doa semoga mereka selamat dalam perjalanan.
Aku bergegas mau kembali masuk kamar. Mau sarapan
dulu, rasanya belum nafsu.
Oh, ya adikku di mana dia sekarang? Aku mengurungkan
niatku masuk kamar.
“Mba…,Mbaa…!” kupanggil-panggil Mba Mimin. Tak
terdengar sahutan. Kemana dia?
“Mba…!” kuulangi sekali lagi dengan suara agak keras.
“Ada apa Kak?” Tiba-tiba Mba Mimin ada di hadapanku
dengan melontarkan pertanyaan itu.
“Ade Fatih ke mana?” tanyaku
pada Mba Mimin. “Tadi sih mba liat Fatih pergi ke rumah Irfan” “Mungkin nonton
teve di rumah Irfan kali Kak” jawab Mba Mimin menduga-duga keberadaan adikku.
Ya sudah berarti adikku aman bersama temannya di rumah
sedang nonton teve. Akhirnya aku masuk kamar. Kunyalakan komputer di meja
belajarku. Entah apa yang akan kuperbuat dengn komputer itu aku ga tau.
Komputer sudah nyala dan aku bengong di hadapannya. Akhirnya, kumatikan kembali
komputer itu. Lalu, kuraih buku harianku yang terselip di antara jejeran buku
pelajaran. Ketika kubuka-buka lembar demi lembar, tiba-tiba wajah ayah bundaku
datang menghiasai halaman-halaman buku harianku. Aku terperanjat kaget. Ada apa
dengan ayah bundaku? Mengapa mereka datang dan menghiasi buku harianku ini? Oh,
tidak. Ini mungkin hanya halusinasiku saja. Mungkin karena aku terlalu cemas
atas kepergian ayah bundaku tadi pagi. Kucoba tutup buku harianku. Dan…,
bayang-bayang ayah bundaku muncul lagi di bingakai foto yang terpajang di atas
meja belajarku.
Ada apa ini? Gumamku dalam hati. Mungkinkan ada
sesuatu yang terjadi dengan ayah bundaku. Oh tidak.
Untuk menenagkan persaanku yang gunda, aku baca-baca
Alquran. Baru beberapa ayat kubaca, wajah ayah bundaku datang menghiasai
halaman Quran yang sedang kubaca. Kupaksakan terus membaca.
Ya, Allah ada apa dengan ayah bundaku? Mengapa mereka
terus-menerus datang dalam imajinasiku? Ya, Allah selamatkan ayah bundaku dalam
perjalanan. Lindungilah ayah bundaku selama dalam perjalana ya Allah. Rabbighfirlii waali walidayya warhamhumaa
kamaa obbayaani shoghiraa. Robbana atina fidunya hasanah wafil aakhiroti hasana
wakina ‘adzaabannar. Amiin.
Kupanjatkan doa-doa itu setelah aku menyelesaikan
membaca surat Al-Waqiah.
“Kak…, Kakaak…!” dari luar kamar, suara adikku
melengking memanggil-manggilku. Aku masih tediam membayangkan kejadian-kejadian
tadi.
“Kak… ade mau makan” “Bikinin mie rebus doong” pinta
adikku dari luar dengan suaranya yang khas.
“Sini De, mba bikinin” terdengar mba Mimin menawarkan
jasa pada adikku.
“Ngga mau, ade maunya dibikinin kakak” pinta adikku
memaksa.
“Biar Mba, sini saya aja yang bikinin”, kataku sambil melangkah ke dapur.
“Asyiiik, kakak baik deh”, rayu Fatih, adikku
satu-satunya.
Mendengar rayuan adikku itu, aku hanya tersenyum.
Paling bisa memang dia kalau merayu.
“Wow, sedap sekali, makasih ya Kak”demikian Fatih,
adikku yang sedang asyik menonoton film kartun kesukaannya itu berterima kasih
ketika aku menyodorkan mangkok di hadapannya.
“Iya, jangan lupa susunya diminum!” kataku.
“Oke!” uja Fatih sekenanya.
Aku sendiri, rasanya masih malas untuk menyantap
sarapan pagi yang sudah disiapkan bundaku sejak pagi. Padahal, sekarang jarum
pendek jam sudah menunjukkan angka 9. Aku hanya menyambar segelas susu cokelat
yang sudah dibuatkan bunda. Kuminum susu itu sambil memperhatikan adikku
menikmati mie instan rebus dengan lahapnya.
***********************
Kembali aku masuk ke kamar. Aku buka-buka lagi buku
harianku. Dalam diam aku mencemaskan, jangan-jangan bayangan-bayangan ayah
bundaku hadir lagi di lembar-lembar buku harianku nanti. Oh, ternyata tidak.
Kubuka lembar demi lembar, sampai pada lembar ke 23 terhenti. Kubaca tulisan
pada lembar itu lama-lama.Pada bagian atas halaman itu tertulis Selasa, 23
Oktober 2007.
Hari ini aku kesal
sekali. Teman-temanku sepertinya ga ada yang mau menemaniku. Semua mencemoohku.
Entah karena aku dianggapnya bodoh, ga bisa berteman seperti yang lain atau
karena aku egois. Tapi, yang aku rasakan, teman-teman sinis padaku. Berbeda sekali
jika dibandingkan perlakuan meraka kepada
Nita yang pintar matematika itu. Mereka seakan tak mau kehilangan Nita.
Mereka mengerubuti Nita baik di kelas maupun sewaktu istrahat.
Aku akan buktikan
kepada kalian bahwa aku tidak sebodoh yang kalian anggap. Akan kubuktikan bahwa
aku juga pandai. Akan aku buktikan bahwa aku mampu menjadi yang tebaik di kelas
ini.
Setiap kali kubuka buku harian halaman 23 ini setiap
kali pula semangatku menggelora untuk giat belajar agar menjadi yang terbaik.
Kulajutkan
membuka-buka halaman demi halaman buku harianku sampai tidak terasa entah sudah
berapa kali balik buku itu kubaca.Sesekali gerakan refleks terjadi,mulutku
membuka lebar-lebar, mataku memejam diikuti keluarnya air mata, sepontan
tanganku menutup rapat mulutku yang menganga itu. Ya, aku menguap. Menahan
kantuk pada hari yang masih terbilang pagi, baru pukul 10.00.
***********************
Tadi
malam aku memaksakan diri menonton konser Indonesia
Idol. Ayahku sudah mengingatkan berkali-kali agar aku segera tidur karena
hari sudah larut malam. Tapi aku tetap tak bergeming di depan layar kaca.
“Tanggung yah!” jawabku setiap kali ayahku mengingatkan untuk segera tidur.
Sampai-sampai ayahku yang mengalah menemaniku menonton televisi. Padahal, yang
aku tahu ayahku kurang suka dengan acara Indonesia
Idol. Ayah lebih menyukai acara berita dan sesekali menyukai acara
pertandingan sepak bola. Sekali waktu ayahku pernah bilang kalau sebenarnya ga
begitu suka sama acara bola, tapi demi menyenangkan Fatih, adikku yang
tergila-gila sama bola, ayahku jadi ikut terbawa suka bola juga.
Ayah menawariku susu cokelat hangat “Mau Ayah bikinin
susu Kak?”
“Ga usah, Yah” ”Biar ntar kakak bikin sendiri aja”,
timpalku.
“Ayah mau bikin mi goreng, Kakak mau ga?” ayah menggoda seleraku.
“Ntar masuk angin loh Kak, begadang dalam keadaan
perut kosong”, lanjut ayahku.
“Mmm… boleh deh. Ayah bikin mi goreng, Kaka yang bikin
susu hangat”, kataku berbagi tugas.
Ayah tahu betul kalau aku bakal ketakutan sendirian di
ruang tamu menonton televisi malam itu. Jadilah kami begadang hingga jam 1 malam.
**************************
Kriiing…..Krinng….Kriiing…., aku tersentak kaget dan
terperanjat dari kantukku yang sudah sangat menggelayut. Suara telepon
berdering terus-terusan, tapi ga ada yang mengangkat. Jangan-jangan Mba Mimin
sedang menemani Fatih bermain bola di depan rumah. Aku bergegas mengangkat
gagang telepon.
“Halo, apa benar ini rumahnya Pa Hasyim?” tanya suara
seorang lelaki dewasa dari balik gagang telepon.
“Iya, betul. Ada apa Pak? Ini siapa ?” “Ayah sedang keluar mengantar Bunda” jawabku
penasaran.
“Saya polisi,ini siapanya Pa Hasyim?” tanya orang itu
kembali.
“Saya Zulfa, anaknya Pa Hasyim” jawabku kembali.
“Nak Zulfa, ayah dan ibumu sekarang ada di rumah sakit
Ashobirin.” “Bapak harap kamu bisa segera kemari dan beritahu anggota keluarga
lain, terutama yang sudah dewasa.”
“Secepatnya!”
Byarrrr….Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Mulutku
terkunci. Gagang telepon terlepas dari genggaman. Dan aku tersungkur. Entah
berapa lama aku tersungkur di depan meja telepon.
*******************
Aku sekarang sudah terbaring di atas sofa. Rupanya Mba
Mimin dan Om Nana mengangkatku dan berusaha membangunkan dan menyadarkan aku.
“Om…, kebetulan datang kemari” kataku tergopoh-gopoh.
“Ada apa Kak?” sergah Om Nana mengernyitkan dahinya.
“Ayah dan Bunda sekarang ada di rumah sakit Ashobirin”
“Tadi pa polisi menelpon” “Kita disuruh secapatnya ke rumah sakit, Om”
“Ya, kalau begitu kita secepatnya ke sana!” “Mba
gantiin baju Fatih, ayo kita segera ke rumah sakit”
Di rumah sakit, kami langsung menuju unit gawat
darurat.Bau amis darah membuat perutku mual-mual.Kulihat sebagian besar orang
di sana menampakkan muka tegang dan penuh cemas. Pada bagian lain aku melihat
sekelompok orang sedang meraung-raung menangis. Entah ada apa. Mungkin salah
satu anggoa keluarganya meninggal dunia pikirku. Berjalan menuju ruang tempat
ayah bundaku berada rasanya lama betul. Aku bergegas,Om Nana menggandeng
tanganku dan Mba Mimin menggandeng Ade Fatih.
Di bagian sudut unit gawat darurat aku dirahkan oleh
petugas yang kutemui pertama kali aku memasuki rumah sakit ini.
“Kalian keluarganya Pa Hasyim?” tanya seorang
laki-laki tua berjas putih, dan bercelana putih.
“Iya, Pak!” jawab kami.
“Mari silakan masuk!” orang itu mempersilakan kami.
Kami bergegas memasuki ruangan itu. Dan….
“Oh…tidaaak!” teriakku dalam batin.
Bundaku.., Bundaku kini terbaring tak bergerak
sedkitpun. Tubuhnya dijalari selang oksigen.Pada bagian pelipis mata kirinya masih
tampak darah merembas, hingga balutan kain kasa itu berganti warna menjadi
merah. Sisa-sisa darah yang telah mengering tampak di pipi, dan di lehernya.
Kutatapi sekujur tubuh bundaku dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Tak menunjukkan tanda-tanda garakan sedikitpun. Bundaku
masih belum sadarkan diri.
Kudengar suara tangsis adikku. Aku tak kuasa menahan
tangis. Tangisku pecah. Air matah membasahi wajahku.Bunda….. Cepat sadarkan
diri, Bunda…. Ya, Allah berikan kekuatan kepada Bundaku ya Allah. Pulihkan
kesadaran bundaku ya Allah.
Ayahku. Dimana ayahku berada? Ku pandangi satu-persatu
pasien yang ada di rangan itu. Tapi…., ayahku… Dimana ayahku? Aku seperti orang
linglung. Mataku jelalatan kesana kemari. Mencari-cari sosok ayah.
Tiba-tiba seorang berseragam putih-puith sudah berada
di hadapanku.
“Ade yang sabar ya!” kata dokter menenangkan aku.
“Ayah…, ayahku dimana Dok?” tanyaku tak sabar ingin
segera bertemu ayah.
“Mungkin ini sudah kehendak Yang Kuasa” “Kita harus
mengikhlaskan kepergiannya” kata dokter menangkan. Kata-kata itu menjadi
kata-kata terakhir yang kudengar di ruagan gawat darurat.
Kegaduhan di rumahku semakin menjadi. Ketika rombonan
keluarga dari kampung datang. Nenekku…, ya.. nenenkku, atau yang biasa
kupanggil Mide adalah orang yang paling terpukul atas kepergian ayah. Kupeluk
Mide kuat-kuat. Pecahlah tangis kami. Dan…. Entah apa lagi yang terjadi.
Tiba-tiba aku sudah berada kembali di tempat tidur. Rupanya tadi aku pingsan
lagi.
Aku dipapah keluar oleh Om Nana untuk melepas
kepergian ayah. Beberapa orang menandu keranda jenazah ayahku dan memasukkannya
ke dalam mobil jenazah. Bunyi sirine mobil jenazah mengiris-ngiris pilu hatiku.
Hatiku menjerit sekuat-kuatnya “Jangan pergia ayahku, jangan pergi”.
Kembali aku dibaringkan di tempat tidur. Beberapa
orang, juga nenekku menemaniku di kamar. Suara isak tangis masih terdengar
samar di telingaku.
Ade Fatih, adikku, dimana dia?
“Om, Ade Fatih dimana Om?” tanyaku pada Om Nana.
“Ade sama Mba Mimin dan Enin masih di rumah sakit.
Nemenin Bunda. Bunda sudah siuman, tapi bunda belum boleh mendengar kabar
tentang ayah dulu kata dokter”, jelas Om Nana.
“Om, kakak pengen ke Bunda” pintaku.
“Tapi, janji ya. Kakak ga boleh ngasih tau dulu
tentang ayah sama Bunda!” Om Nana memohon.
“Iya, Om”, jawabku.
Sebenarnya bukan hanya Bunda yang belum tau tenang
kepergian ayah, Ade Fatih pun belum tahu dan bisa jadi belum mengerti tentang
kepergian ayah.
Kubuka perahan-lahan ruangan tempat bundaku di rawat. Kumelangkah mendekat ke
pembaringan bunda. Kulihat wajah cemas pada Om Nana dan Enin. Mungkin mereka
khawatir, kalau-kalau aku tak kuat menahan tangis yang akhirnya membuat bundaku
jadi tahu tentang kabar ayahku.
Aku berusaha tegar. Kupeluk bundaku erat-erat.
“Dari mana saja kak,baru kelihatan”, tanya bunda.
“Emm…anu…emm.. ada keperluan Nda”, jawabku sedapatnya.
“Kak, bagaimana dengan Ayah” “Ayah di mana kok ga
kelihatan?” tanya bunda memecah rongga-rongga dadaku. Sunyi…..
*********************
“Sudahlah Nok, yang ikhlas. Mungkin Allah berkehendak
lain dari kehendak kita.Yakinlah bahwa apa yang Allah perbuat kepada kita
adalah yang terbaik bagi Allah juga bagi kita. Ikhlaskan kepergian suamimu.
Semoga Allah memberi tempat yang baik buatnya” demikian nasehat-nasehat Enin
pada bunda. Kulihat bunda sangat terpukul.
******************
Pagi itu, tanggal 8 November, hari ulang tahunku. Aku
teringat peristiwa satu tahun silam, tepat di hari ulang tahunku.Waktu itu,
ayahku sedang bertugas di luar kota.Ayahku mengirimkan sms untukku.
Selamat ulang tahun ya
Kak.Semoga Kakak sehat selalu dan tumbuh menjadi muslimah yang dewasa.
***********************
Ayah, andai saja ayah tahu. Kakak sekarang sudah SMP
dan bersekolah di sekolah yang dulu ayah inginkan. Ingat kan yah, dulu ayah
menginginkan agar aku bersekolah di sekolah pesantren. Ayah ingin agar aku
menjadi anak yang baik, anak yang solehah. Ayah, kini kakak sudah dapat
menghapal Alquran 5 juz dan pada pembagian rapor semester kemarin, kakak mendapat rangking pertama. Yah, kakak ingin
bisa sekolah sampai ke perguruan
tinggi.Kakak ingin menunjukkan kepada teman-teman bahwa kakak tdak sebodoh yang
mereka kira. Kakak ingin membahagiakan bunda, ade Fatih, dan tentunya ayah.
Kakak ingin menegakkan kalimat Allah dengan ilmu yang kakak miliki.Kakak ingin
menjadi muslimah yang dewasa seperti yang ayah inginkan dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar